CELOTEH ANAK BETAWI
ASSALAMU'ALAIKUM...! MAMPIR YEEE DI MARI...! YUUUK...
Friday, September 28, 2012
Sunday, August 26, 2012
KHAS BETAWI
DODOL BETAWI
Membuat dodol
Rutinitas orang betawi di kampung saya, saat puasa ramadhan dan menjelang lebaran adalah membuat dodol atau "ngaduk".
Dulu, waktu kecil, saya paling suka ngeliat orang bikin dodol. Bayangin, jam tiga dini hari aja saya sudah bangun saking semangatnya. Tujuan saya? Ya udah pasti mau ngeliat proses pembuatan dodol betawi. Selain karena butuh banyak tenaga dalam membuat dodol ini, saya kadang-kadang suka ngerecokin ibu-ibu yang marut kelapa atau menguleni tepung. Tapi, tenaga anak-anak seperti saya sering dibutuhkan juga oleh ibu-ibu, kok.
Bersama anak-anak yang lain, semua disuruh bantu-bantu sesuai kemampuan anak-anak. Seperti menjaga tungku agar apinya menyala stabil. Meniup dan mengipas kayu bakar agar apinya tetap menyala. Atau, ikut para ibu-ibu menggiling beras menjadi tepung dan memarut kelapa untuk dijadikan santan.
Sesuai perkembangan zaman, proses pembuatan dodol semakin ringan. Kalo dulu harus memarut kelapa sendiri, sampai tangan suka ikut keparut, sekarang sudah ada mesin pemarut kelapa. Begitu juga dengan beras ketan yang langsung halus karena adanya mesin penggiling.
Selesai penggilingan dan proses yang lainnya dikerjakan, baru semua bahan mulai diceburkan ke dalam kuali besar. Saya, dan teman-teman lainnya bergantian mengaduk adonan yang masih terasa ringan.
Dan akhirnya, saat-saat yang paling ditunggu anak-anak tiba juga. Adonan dodol sudah mulai kental. Saat itulah anak-anak bisa makan kole (adonan dodol yang sudah kental). Wadah piringnya terbuat dari debong (lapisan batang pohon pisang). Makan kole itu enaknya ditaburi kelapa parut yang masih bersantan. Untuk sendoknya sendiri, biasanya menggunakan lidi untuk melilit dodol.
Soal kenapa membuat dodol itu lebih pas waktunya saat subuh? Mungkin karena proses pembuatan dodol yang memakan waktu cukup lama, di mana saat subuh itu orang udah makan sahur, masih punya banyak cadangan tenaga.
Membuat dodol betawi butuh waktu sekitar 13-14 jam. Semakin siang, dodol mulai berat diaduk. Biasanya, hanya tenaga laki-laki yang bisa diandalkan untuk mengaduknya saat adonan mulai berat.
Ngomongin soal bikin dodol, saya punya sebuah kisah tragis yang menimpa seorang wanita di kampung saya. Saat mengaduk dodol, tangannya sampai atas siku tercelup ke dalam adonan dodol panas. Mungkin, karena beliau kurang berhati-hati saat itu. Ah, malang emang gak dapat ditolak. Untung pun tak dapat diraih. Semua mungkin sudah kehendak Yang Maha Kuasa.
Mengenang dodol betawi di masa kecil saya, adalah sesuatu yang terasa indah buat saya. Cuma sayang banget, ketenaran dodol betawi makin lama makin pudar. Gak banyak lagi orang yang rela berkeringat, bergotong-royong demi membuat dodol. Kalaupun ada, dodol dibuat hanya untuk dijual. Bukan untuk memperkuat tali silaturahmi dengan saudara, sanak-famili, tetangga dan teman. Kalo bisa, dodol betawi jangan ikutan punah kayak gajah sumatra sono, dah. Iya, pan, ya?
Saturday, August 25, 2012
MAHKOTA KEMENANGAN ANAK BETAWI
Saya sebenarnya sudah lupa dengan ajang tersebut. Tapi, alhamdulillah, inilah hasil dari semangat dan perjuangan anak betawi seperti saya.
Saya akui, bahwa blog saya ini jauh dari keren dan nggak berbobot sama sekali. Tampilan blog saya masih sangat berantakan. Sementara isi dari tulisan saya sendiri masih kacau-balau. Tapi, Leutika Prio sudah membuat saya lebih percaya diri. Dengan kemenangan yang sudah saya peroleh ini, adalah merupakan lecutan semangat untuk bisa berkarya lebih baik lagi. Ini merupakan sebuah penghargaan luar biasa bagi saya.
Saya sangat berharap, bisa memanfaatkan voucher sebesar 300.000,- rupiah dari Leutika Prio. Dan semoga tulisan saya nanti bisa diterima dengan baik dan bermanfaat bagi orang banyak. Amin...
Terakhir, saya ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada Leutika Prio atas kemenangan ini.
Salam Inspiratif!
Thursday, August 23, 2012
KHAS BETAWI
KUE PEPE
Kalau mau mencicipi kue ini, singgah saja di perkampungan betawi. Biasanya, kue dengan warna menggoda ini banyak dijumpai pada acara-acara keluarga seperti, acara hajatan dan acara resmi lainnya.
Di kampung saya, Kue Pepe ini biasanya banyak yang memesan bila sanak saudara hendak melangsungkan hajatan. Dengan jumlah kue yang terdiri 4 sampai 6 loyang, yang membawanya harus menggunakan baskom yang dibungkus kain, tentu saja membutuhkan tenaga ekstra untuk mengangkat kue ini. Karena, satu loyang Kue Pepe ini beratnya bisa sampai kurang lebih satu kilo. Jadi kebayang, kan, betapa merepotkan membawa kue yang beratnya berkilo-kilo sementara tubuh sudah terbalut pakaian indah, serta rias-an wajah yang cantik.
Seperti yang saya tahu, sekarang ini sudah banyak Kue Pepe yang sudah dikemas mungil dengan ukuran sekali makan habis. Tapi pada kenyataannya, orang-orang di kampung saya lebih menyukai kemasan Kue Pepe dalam bentuk loyang.
Beratnya kue bukan halangan berarti untuk lebih memperkokoh tali silaturahmi. Bagi warga betawi di kampung saya, Kue Pepe bukan sekedar untuk memberi bantuan ataupun hantaran kepada orang yang dikehendaki. Namun lebih daripada itu, pada setiap lembar manis-legitnya Kue Pepe, ada sukacita, kehangatan, dan kebahagian yang bisa dirasakan bersama sanak saudara, teman, sahabat, tetangga, dan juga orang-orang di sekitarnya. Hanya sayangnya, saya makin jarang menjumpai kue ini pada acara hajatan. Mungkin, karena hal ini disebabkan oleh berat kue dan bahan baku kue yang serba mahal.
Monday, July 23, 2012
Thursday, June 21, 2012
KEBUN BUAH ISTIMEWA
MAJALAH BERDI No.12/Th.II-2011
KEBUN
BUAH ISTIMEWA
Oleh.
Mimi Aira
Tania mengundang beberapa teman sekelasnya
datang ke rumah. Rencananya, hari ini Ayah Tania akan memanen hasil kebunnya.
Namun, Tania sengaja tidak memberitahu teman-temannya tentang kebun buahnya
itu.
Vika, Reno, Amel, dan Adit langsung
menyetujui ajakan Tania.
“Kamu mau kasih kejutan apa sih, Tania?”
tanya Amel penasaran.
“Kamu seperti tidak tahu saja, Mel. Pasti
Tania mau pamer kolam ikan lelenya. Ayahnya Tania, kan peternak lele,” sambar
Adit cepat.
Tania hanya tersenyum saja mendengar
celoteh Adit. Tentu saja teman-teman Tania semakin penasaran dibuatnya.
“Pokoknya, kalian tidak akan menyesal
singgah di kebunku,” ujar Tania kalem.
Mereka pun tiba di rumah Tania. Namun
Tania tidak langsung mengajak mereka ke kebun buahnya. Tania menyuruh mereka
untuk melepaskan dahaga terlebih dahulu.
“Tania, aku sudah tidak haus lagi, nih!
Cepat beritahu kami, Tania! Memangnya kamu punya kejutan apa, sih?” tanya Reno
tidak sabar.
“Iya, Tania. Aku juga sudah tidak sabar,
nih!” timpal Vika.
“Baiklah. Kita ke kebun belakang
sekarang!” kata Tania. Teman-temannya mengikuti langkah Tania.
“Nah, ini dia kejutannya!” seru Tania
riang.
Alangkah terkejutnya teman-teman Tania.
Mereka seperti tidak mempercayai apa yang telah dilihatnya. Di hadapan mereka
tampak buah-buahan segar bergelantungan di dahan yang rendah. Ada beberapa
aneka jenis pohon buah di kebun Tania. Mulai dari pohon belimbing, rambutan,
mangga, papaya, nangka, kelengkeng, dan lain-lain. Semua pohon buah-buahan itu
tampak berbuah lebat. Buah-buahan itu juga tampak ranum dan siap untuk dipetik.
Vika, Reno, Amel, dan Adit tampak kesulitan menahan air liurnya. Buah-buahan
itu memang sangat menggiurkan bagi mereka
“Wow...nikmatnya! Ini semua milik Ayah kamu,
Tania?” tanya Adit sambil menyentuh sebuah jambu biji bangkok yang menggantung
rendah.
Tania lekas mengangguk. Lalu ia hampiri
ayahnya yang sedang memetik buah rambutan.
“Ayah, boleh teman-teman Tania membantu
Ayah?” tanya Tania kepada ayahnya.
“Tentu saja boleh. Jika ada yang mau
membantu Ayah, nanti akan Ayah beri hadiah. Membawa pulang buah-buahan apa saja
yang kalian suka,” kata Ayah Tania.
“Horeeeeee…! Terima kasih, Om!” seru
mereka gembira.
Dengan penuh semangat mereka segera
berlomba membantu Ayah Tania memanen buah-buahan. Sesekali mereka mencicipi
manisnya buah rambutan. Yang lebih asyik lagi, pohon-pohon buah itu semuanya
berdahan rendah. Tinggal mengulurkan tangan saja, maka mereka langsung dapat
memetiknya.
Setelah semua keranjang terisi penuh, Ayah
Tania menyuruh mereka beristirahat.
“Sekarang kalian boleh beristirahat. Juga
boleh memakan buah apa saja yang kalian suka. Kalau kalian mau, bawalah pulang
untuk oleh-oleh di rumah.” ucap Ayah Tania.
“Horeeeee…! Terima kasih, Om!” seru mereka
serempak.
“Tania, kamu kok tidak pernah bilang kalau
punya kebun buah seluas ini? kata Reno sambil menikmati buah rambutan. Amel dan
Vika pun sedang asyik makan buah rambutan.
“Iya, Tania. Coba kalau kami tahu kamu
punya kebun buah, hampir setiap hari kami main ke rumah kamu. Iya kan,
teman-teman?” Adit menimpali ucapan Reno.
“Iya. Betul, Tania. Eh, Tania, kapan-kapan
kami boleh, kan main ke rumah kamu lagi?” tanya Reno lagi.
“Tentu saja boleh. Sebentar lagi buah
dukuhnya juga akan dipanen,” kata Tania.
Mata anak-anak itu berbinar ceria. Mereka
langsung membayangkan betapa manisnya buah dukuh.
“Tania, bagaimana kalau kebun buah kamu
ini kita beri nama?” usul Vika.
“Itu usul yang bagus. Tapi…apa, ya nama
yang pas buat kebun istimewa kamu ini, Tania?” kata Amel sambil berpikir keras.
“Ya sudah kalau begitu! Kita beri nama saja
Kebun Istimewa! Bagaimana, teman-teman? Apa kalian setuju?” Reno ikut memberi
usul.
“Setuju!” sahut Amel cepat. Yang lain pun
mengangguk setuju.
“Nama yang bagus! Keren!” timpal Adit.
Tania hanya tersenyum menanggapi celotehan
teman-temannya.
Setelah puas menikmati buah-buahan,
teman-teman Tania berpamitan pulang. Mereka tidak lupa mengucapkan terima kasih
pada orang tua Tania. Dengan langkah riang, mereka membawa pulang oleh-oleh
yang dipetik dari Kebun Istimewa.
ARA DAN IRA
MAJALAH BERDI No.23/Th.II-2012
ARA DAN IRA
ARA DAN IRA
Oleh:
Mimi Aira
Sore
ini Ara dan Ira hendak bersepeda mengelilingi kompleks perumahan. Di luar,
teman-teman Ara dan Ira sudah tak sabar
menunggu. Mereka berteriak-teriak ribut memanggil nama Ara dan Ira.
“Cepat, Kak!” Ara tiba-tiba masuk ke kamar
Ira.
“Aduh, aku salah pakai!” pekik Ara ketika
melihat baju yang dipakai Ira.
“Sebentar ya, Kak,” katanya lagi. Ara pun
cepat-cepat kembali ke kamarnya. Tak lama kemudian, Ara, adik kembar Ira itu
sudah kembali lagi.
Namun, Ira kaget ketika melihat Ara
memakai kaos oblong merah jambu motif bunga-bunga. Ternyata, Ara sengaja
berganti pakaian yang sama dengan Ira ketika kembali ke kamarnya tadi. Dengan
wajah cemberut Ira lalu mencopot jepit
rambutnya.
“Aku nggak jadi ikut deh, Ra. Kamu saja
yang pergi,” kata Ira tanpa terduga.
“Lho, kenapa sih, Kak? Tadi Kak Ira
sendiri, kan, yang menerima ajakan mereka?” Kini Ara yang kaget mendengar
omongan Ira.
“Aku nggak mau kita pakai baju yang sama,
Ra.”
“Tapi kita, kan, anak kembar, Kak!” potong
Ara cepat.
“Memang kalau kembar itu semuanya harus
serba sama?” sergah Ira.
Ara terdiam sejenak. Lalu katanya, “Kak
Ira nggak kompak lagi, nih. Dulu Kakak nggak pernah malu kita pakai baju yang
sama,” ucap Ara pelan.
“Ara, kamu ngerti, dong. Kita sudah besar.
Masa harus pakai baju yang sama terus, sih!” suara Ira sedikit meninggi.
Ara terdiam sejenak. “Ya sudah, kalau Kak
Ira maunya begitu. Tapi aku nggak mau ganti baju lagi. Kak Ira saja yang ganti
baju sana,” kata Ara akhirnya.
Wajah Ira berseri-seri. Ia pun segera berganti
pakaian. Ira memang sudah mulai malu jalan berdua Ara dengan memakai baju yang
sama. Ia juga berpesan pada mamanya agar tidak lagi membelikan sesuatu untuknya
yang sama persis dengan Ara.
“Ara, aku sudah siap, nih! Berangkat yuk…”
ucap Ira riang.
“Terlambat, Kak! Teman-teman kita sudah
pergi semua. Kak Ira sih kelamaan ganti bajunya.” Muka Ara bersungut-sungut.
Dengan kesal ia masuk ke kamarnya seraya membanting pintu.
“Kita susul mereka, Ra!” teriak Ira dari
luar.
“Kakak pergi saja sendiri!” Ara balas
berteriak.
“Kok malah ngambek, sih,” gumam Ira.
Sejak saat itu, Ara tidak pernah lagi
memakai sesuatu yang sama dengan Ira yang menandakan, bahwa mereka adalah dua saudara
kembar. Tentu saja Ira merasa senang sekali. Sebab, Ara mulai memahami
keinginannya.
***
Hari minggu pagi muka Ira tampak muram.
Tidak seperti biasanya Ira bersedih seperti itu. Melihat wajah kakaknya murung
terus, Ara mencoba menanyakannya langsung.
“Ada apa sih, Kak? Sore ini kita mau ke
pesta ulang tahun Anya, kan? Seharusnya Kak Ira gembira, dong,” tegur Ara
hati-hati.
Tapi Ira tak mau menjawab. Mimik wajahnya
muram dan sedih. Ia teringat lagi obrolannya dengan Anya kemarin. Saat itu Anya
bersemangat sekali bercerita tentang persiapan pesta ulang tahunnya.
“Pokoknya, ulang tahunku kali ini paling
spesial, Ra. Makanya, besok, supaya aku tidak bisa menebak yang mana kamu, dan yang
mana Ara, kalian berdua harus dandan semirip mungkin!” Anya menjelaskan
keinginannya kepada Ira.
“Pakaian juga harus sama ya, An?” tanya
Ira.
“Iya dong!” jawab Anya bersemangat.
Duuuh, kenapa sih Anya malah menyuruhnya
memakai pakaian yang sama dengan Ara? Buat Ira, permintaan Anya itu terlalu
berat. Tapi, Anya itu kan sahabat karib ia dan Ara. Kalau Ira menolak pasti
Anya akan sangat kecewa sekali. Dan sekarang, Ira benar-benar bingung
memikirkannya.
“Kak Ira…!” Ara mengagetkan Ira yang
sedang melamun.
“Kok malah bengong, sih? Ada apa sih, Kak?
Cerita dong sama Ara,” pinta Ara.
Ira tetap tak mau menjawab. Mulutnya masih
terkunci rapat. Lalu dengan tergesa ia tinggalkan Ara sendirian di teras depan.
Sore harinya, Ara dan Ira sudah
bersiap-siap ke pesta ulang tahun Anya.
“Kita pakai baju yang ini saja, Ra. Jepit
rambutnya pakai yang kupu-kupu. Oh iya, jangan lupa pakai sepatu kesayangan
kita juga ya, Ra.” Ira tampak bersemangat sekali.
“Lho, Kak Ira, kan, tidak mau pakai baju
yang sama denganku?” Ara terheran-heran.
“Hari ini kita harus tampil istimewa di
depan Anya, Ra. Kita buat dia susah membedakan yang mana aku, yang mana kamu.
Kamu setuju kan, Ra?” Mata Ira mengerling lucu pada Ara.
Ara pun cepat mengangguk. Ya, tentu saja
Ara setuju. Mereka melakukan ini demi menyenangkan hati Anya, sahabat mereka.
Jadi, siapa bilang Ira tidak bisa tampil kompak lagi dengan Ara?
Subscribe to:
Posts (Atom)