CELOTEH ANAK BETAWI

ASSALAMU'ALAIKUM...! MAMPIR YEEE DI MARI...! YUUUK...

Thursday, June 21, 2012

KEBUN BUAH ISTIMEWA

MAJALAH BERDI No.12/Th.II-2011





KEBUN BUAH ISTIMEWA
Oleh. Mimi Aira

     Tania mengundang beberapa teman sekelasnya datang ke rumah. Rencananya, hari ini Ayah Tania akan memanen hasil kebunnya. Namun, Tania sengaja tidak memberitahu teman-temannya tentang kebun buahnya itu.
     Vika, Reno, Amel, dan Adit langsung menyetujui ajakan Tania.
  “Kamu mau kasih kejutan apa sih, Tania?” tanya Amel penasaran.
     “Kamu seperti tidak tahu saja, Mel. Pasti Tania mau pamer kolam ikan lelenya. Ayahnya Tania, kan peternak lele,” sambar Adit cepat.
     Tania hanya tersenyum saja mendengar celoteh Adit. Tentu saja teman-teman Tania semakin penasaran dibuatnya.
     “Pokoknya, kalian tidak akan menyesal singgah di kebunku,” ujar Tania kalem.
     Mereka pun tiba di rumah Tania. Namun Tania tidak langsung mengajak mereka ke kebun buahnya. Tania menyuruh mereka untuk melepaskan dahaga terlebih dahulu.
     “Tania, aku sudah tidak haus lagi, nih! Cepat beritahu kami, Tania! Memangnya kamu punya kejutan apa, sih?” tanya Reno tidak sabar.
     “Iya, Tania. Aku juga sudah tidak sabar, nih!” timpal Vika.
     “Baiklah. Kita ke kebun belakang sekarang!” kata Tania. Teman-temannya mengikuti langkah Tania.
     “Nah, ini dia kejutannya!” seru Tania riang.
     Alangkah terkejutnya teman-teman Tania. Mereka seperti tidak mempercayai apa yang telah dilihatnya. Di hadapan mereka tampak buah-buahan segar bergelantungan di dahan yang rendah. Ada beberapa aneka jenis pohon buah di kebun Tania. Mulai dari pohon belimbing, rambutan, mangga, papaya, nangka, kelengkeng, dan lain-lain. Semua pohon buah-buahan itu tampak berbuah lebat. Buah-buahan itu juga tampak ranum dan siap untuk dipetik. Vika, Reno, Amel, dan Adit tampak kesulitan menahan air liurnya. Buah-buahan itu memang sangat menggiurkan bagi mereka
     “Wow...nikmatnya! Ini semua milik Ayah kamu, Tania?” tanya Adit sambil menyentuh sebuah jambu biji bangkok yang menggantung rendah.
     Tania lekas mengangguk. Lalu ia hampiri ayahnya yang sedang memetik buah rambutan.
     “Ayah, boleh teman-teman Tania membantu Ayah?” tanya Tania kepada ayahnya.
     “Tentu saja boleh. Jika ada yang mau membantu Ayah, nanti akan Ayah beri hadiah. Membawa pulang buah-buahan apa saja yang kalian suka,” kata Ayah Tania.
     “Horeeeeee…! Terima kasih, Om!” seru mereka gembira.
     Dengan penuh semangat mereka segera berlomba membantu Ayah Tania memanen buah-buahan. Sesekali mereka mencicipi manisnya buah rambutan. Yang lebih asyik lagi, pohon-pohon buah itu semuanya berdahan rendah. Tinggal mengulurkan tangan saja, maka mereka langsung dapat memetiknya.
     Setelah semua keranjang terisi penuh, Ayah Tania menyuruh mereka beristirahat.
     “Sekarang kalian boleh beristirahat. Juga boleh memakan buah apa saja yang kalian suka. Kalau kalian mau, bawalah pulang untuk oleh-oleh di rumah.” ucap Ayah Tania.
     “Horeeeee…! Terima kasih, Om!” seru mereka serempak.
     “Tania, kamu kok tidak pernah bilang kalau punya kebun buah seluas ini? kata Reno sambil menikmati buah rambutan. Amel dan Vika pun sedang asyik makan buah rambutan.
     “Iya, Tania. Coba kalau kami tahu kamu punya kebun buah, hampir setiap hari kami main ke rumah kamu. Iya kan, teman-teman?” Adit menimpali ucapan Reno.
     “Iya. Betul, Tania. Eh, Tania, kapan-kapan kami boleh, kan main ke rumah kamu lagi?” tanya Reno lagi.
     “Tentu saja boleh. Sebentar lagi buah dukuhnya juga akan dipanen,” kata Tania.
     Mata anak-anak itu berbinar ceria. Mereka langsung membayangkan betapa manisnya buah dukuh.
     “Tania, bagaimana kalau kebun buah kamu ini kita beri nama?” usul Vika.
     “Itu usul yang bagus. Tapi…apa, ya nama yang pas buat kebun istimewa kamu ini, Tania?” kata Amel sambil berpikir keras.
     “Ya sudah kalau begitu! Kita beri nama saja Kebun Istimewa! Bagaimana, teman-teman? Apa kalian setuju?” Reno ikut memberi usul.
     “Setuju!” sahut Amel cepat. Yang lain pun mengangguk setuju.
     “Nama yang bagus! Keren!” timpal Adit.
     Tania hanya tersenyum menanggapi celotehan teman-temannya.
     Setelah puas menikmati buah-buahan, teman-teman Tania berpamitan pulang. Mereka tidak lupa mengucapkan terima kasih pada orang tua Tania. Dengan langkah riang, mereka membawa pulang oleh-oleh yang dipetik dari Kebun Istimewa.

ARA DAN IRA

MAJALAH BERDI No.23/Th.II-2012



ARA DAN IRA
                                      Oleh: Mimi Aira

     Sore ini Ara dan Ira hendak bersepeda mengelilingi kompleks perumahan. Di luar, teman-teman Ara dan Ira sudah  tak sabar menunggu. Mereka berteriak-teriak ribut memanggil nama Ara dan Ira.
     “Cepat, Kak!” Ara tiba-tiba masuk ke kamar Ira.
     “Aduh, aku salah pakai!” pekik Ara ketika melihat baju yang dipakai Ira.
     “Sebentar ya, Kak,” katanya lagi. Ara pun cepat-cepat kembali ke kamarnya. Tak lama kemudian, Ara, adik kembar Ira itu sudah kembali lagi.
     Namun, Ira kaget ketika melihat Ara memakai kaos oblong merah jambu motif bunga-bunga. Ternyata, Ara sengaja berganti pakaian yang sama dengan Ira ketika kembali ke kamarnya tadi. Dengan wajah cemberut Ira lalu mencopot  jepit rambutnya.
     “Aku nggak jadi ikut deh, Ra. Kamu saja yang pergi,” kata Ira tanpa terduga.
     “Lho, kenapa sih, Kak? Tadi Kak Ira sendiri, kan, yang menerima ajakan mereka?” Kini Ara yang kaget mendengar omongan Ira.
     “Aku nggak mau kita pakai baju yang sama, Ra.”
     “Tapi kita, kan, anak kembar, Kak!” potong Ara cepat.
     “Memang kalau kembar itu semuanya harus serba sama?” sergah Ira.
     Ara terdiam sejenak. Lalu katanya, “Kak Ira nggak kompak lagi, nih. Dulu Kakak nggak pernah malu kita pakai baju yang sama,” ucap Ara pelan.
     “Ara, kamu ngerti, dong. Kita sudah besar. Masa harus pakai baju yang sama terus, sih!” suara Ira sedikit  meninggi.
     Ara terdiam sejenak. “Ya sudah, kalau Kak Ira maunya begitu. Tapi aku nggak mau ganti baju lagi. Kak Ira saja yang ganti baju sana,” kata Ara akhirnya.
     Wajah Ira berseri-seri. Ia pun segera berganti pakaian. Ira memang sudah mulai malu jalan berdua Ara dengan memakai baju yang sama. Ia juga berpesan pada mamanya agar tidak lagi membelikan sesuatu untuknya yang sama persis dengan Ara.
     “Ara, aku sudah siap, nih! Berangkat yuk…” ucap Ira riang.
     “Terlambat, Kak! Teman-teman kita sudah pergi semua. Kak Ira sih kelamaan ganti bajunya.” Muka Ara bersungut-sungut. Dengan kesal ia masuk ke kamarnya seraya membanting pintu.
     “Kita susul mereka, Ra!” teriak Ira dari luar.
     “Kakak pergi saja sendiri!” Ara balas berteriak.  
     “Kok malah ngambek, sih,” gumam Ira. 
     Sejak saat itu, Ara tidak pernah lagi memakai sesuatu yang sama dengan Ira yang menandakan, bahwa mereka adalah dua saudara kembar. Tentu saja Ira merasa senang sekali. Sebab, Ara mulai memahami keinginannya.

                                                                  ***
     Hari minggu pagi muka Ira tampak muram. Tidak seperti biasanya Ira bersedih seperti itu. Melihat wajah kakaknya murung terus, Ara mencoba menanyakannya langsung.
     “Ada apa sih, Kak? Sore ini kita mau ke pesta ulang tahun Anya, kan? Seharusnya Kak Ira gembira, dong,” tegur Ara hati-hati.
     Tapi Ira tak mau menjawab. Mimik wajahnya muram dan sedih. Ia teringat lagi obrolannya dengan Anya kemarin. Saat itu Anya bersemangat sekali bercerita tentang persiapan pesta ulang tahunnya.
     “Pokoknya, ulang tahunku kali ini paling spesial, Ra. Makanya, besok, supaya aku tidak bisa menebak yang mana kamu, dan yang mana Ara, kalian berdua harus dandan semirip mungkin!” Anya menjelaskan keinginannya kepada Ira.
     “Pakaian juga harus sama ya, An?” tanya Ira.
     “Iya dong!” jawab Anya bersemangat.
     Duuuh, kenapa sih Anya malah menyuruhnya memakai pakaian yang sama dengan Ara? Buat Ira, permintaan Anya itu terlalu berat. Tapi, Anya itu kan sahabat karib ia dan Ara. Kalau Ira menolak pasti Anya akan sangat kecewa sekali. Dan sekarang, Ira benar-benar bingung memikirkannya.
     “Kak Ira…!” Ara mengagetkan Ira yang sedang melamun.
     “Kok malah bengong, sih? Ada apa sih, Kak? Cerita dong sama Ara,” pinta Ara.
     Ira tetap tak mau menjawab. Mulutnya masih terkunci rapat. Lalu dengan tergesa ia tinggalkan Ara sendirian di teras depan.
     Sore harinya, Ara dan Ira sudah bersiap-siap ke pesta ulang tahun Anya.
     “Kita pakai baju yang ini saja, Ra. Jepit rambutnya pakai yang kupu-kupu. Oh iya, jangan lupa pakai sepatu kesayangan kita juga ya, Ra.” Ira tampak bersemangat sekali.
     “Lho, Kak Ira, kan, tidak mau pakai baju yang sama denganku?” Ara terheran-heran.
     “Hari ini kita harus tampil istimewa di depan Anya, Ra. Kita buat dia susah membedakan yang mana aku, yang mana kamu. Kamu setuju kan, Ra?” Mata Ira mengerling lucu pada Ara.
     Ara pun cepat mengangguk. Ya, tentu saja Ara setuju. Mereka melakukan ini demi menyenangkan hati Anya, sahabat mereka. Jadi, siapa bilang Ira tidak bisa tampil kompak lagi dengan Ara?