CELOTEH ANAK BETAWI

ASSALAMU'ALAIKUM...! MAMPIR YEEE DI MARI...! YUUUK...

Thursday, February 2, 2012

KENANGAN MASA KECIL si ANAK BETAWI (PART 1)

SERUNYA BERBURU IKAN DI SAWAH 
   Masa kanak-kanak itu memang menyenangkan. Semua masa-masa itu selalu terasa indah untuk dikenang. Meski dulu kita sering ribut, marahan, dan saling ejek dengan teman main, tapi semua itu tetap sebuah kenangan manis yang sulit untuk dilupakan. Apalagi jika di masa kecil banyak kegembiraan yang kita dapatkan, tentu mengingatnya lebih membahagiakan lagi. Seperti misalnya diajak piknik bersama keluarga. Punya banyak mainan lucu yang keren dan mahal. Atau, selalu ada pesta meriah bila berulang tahun. Dan pastinya, semua orang tentu  senang mengingat lagi masa kecilnya.

   Namun menurut saya, masa kecil itu juga bisa terasa begitu indah biar hanya sekedar berlarian di pematang sawah atau galengan. Berteriak-teriak nyaring sambil turun ke sawah, kemudian berlomba-lomba mencari ikan. Jika tak dapat ikan, main lempar-lemparan lumpur juga oke. Kalau muka belum kena "tembakan" lumpur, maka belum boleh beranjak naik.

     Dulu, saya paling suka jika Engkong saya memanen ternak ikan mas-nya. Sehabis subuh saya langsung diajak Emak menuju areal persawahan. 
     "Kenapa mesti pagi-pagi sih, Mak? Umi 'pan masih ngantuk," ucap saya ketika itu. 
     "Kalo kagak pagi-pagi, Mi, tuh tempat nadang keburu diserobot orang," jawab Emak. Oh ya, nadang itu artinya menghadang ikan yang terbawa arus air pada galengan yang sengaja dibuat putus. Biasanya, pada saat nadang itu, ada alat khusus yang di kampung saya akrab disebut tanggok. Tanggok itu sendiri terbuat dari anyaman bambu yang sengaja dibuat  berlubang-lubang kecil. Ukuran tanggok setara dengan gabungan tiga buah bola basket. Sedangkan bentuknya hanya setengah lingkaran. 


     Berhubung yang punya sawah adalah Engkong saya, maka memang harus berdiri paling depan. Sesudahnya, di belakang saya, orang lain atau siapa saja boleh ikutan nadang

     Aliran air mulai turun deras saat Engkong saya memutus galengan sawah. Pada bagian depan dibuat pagar bambu dengan celah yang tidak terlalu besar. Tujuannya agar ikan-ikan besarnya tidak ikut nyelonong turun ke bawah. Tetapi, jika ikan-ikan ternak sudah ditangkap semua, pagar bambu itu akan dilepaskan.

      Saya, sejak dua menit yang lalu sudah turun di bawah derasnya aliran air. Sambil berusaha keras menahan dingin yang menggigil, bibir saya sempat gemetar. Sementara Enyak saya membuat kopi untuk Engkong dan Babeh yang tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Lama-lama bibir saya mulai biru. Kulit muka juga mulai terasa tebal akibat terlalu lama menahan dingin. Tapi, karena ada seekor ikan cere yang mulai mampir ke tanggok saya, rasa beku yang menjalari tubuh saya hilang perlahan-lahan. Saya mulai keasyikan nadang. Ikan cere semakin banyak yang terbawa arus. Ada udang, ikan sepat, dan ikan betok. Begitu ikan julung-julung yang muncul di tanggok saya, langsung saya lepaskan lagi. Kata Emak, ikan julung-julung rasanya pahit.  

     Tak terasa, hari mulai beranjak siang. Wajah persawahan yang gelap dan dingin mulai membiaskan cahaya terang. Mulai memperlihatkan betapa eloknya alam sekitar. Di sudut petak sawah lainnya, tampaklah wajah-wajah penuh semangat, langkah kaki yang gesit, sambil menenteng jaring, susrug dan tanggok. Orang-orang di kampung saya mulai berdatangan, menuju sawah Engkong saya. Mereka berbondong-bondong berjalan di sepanjang tepian galengan menuju sawah Engkong, untuk mencari ikan. 
  
     Berita mengenai Engkong saya yang hendak panen ikan mas begitu cepat menyebar. Padahal, ketika itu belum ada alat telekomunikasi seperti sekarang ini. Penyampaian pesan atau berita itu cukup dari mulut ke mulut saja. 

     "Umiiiii, ikutan dong, Mi...!" 
     "Mi, gua di belakang lu ya, Mi!"
     "Mi, lu udah dapet banyak belum, Mi?"
     "Umi...!"
     "Umi ajak gua dooong!"
     Beberapa teman-teman akrab saya tahu-tahu muncul dan berlarian menuju tempat saya nadang

     BYUR!

     Nadir malah langsung nyebur begitu tiba di dekat saya. 
     "Pelan-pelan dong, Dir! Ikannya pada kabur, tuh," gerutu saya kesal. 
     "Eh, anak perempuan paling depan!" serobot Janiyah. Dia merangsek maju. Kini posisinya tepat di belakang saya.
      "Rese lu ya, Jan. Dasar anak cewek! Tuh ambil! " Nadir ngoceh tak terima. Badannya yang kerempeng hampir saja terbawa arus air yang deras. Kalau saja tidak berpegangan pada tanaman rambat yang tumbuh pada galengan, ia pasti sudah timbul -tenggelam terbawa arus. 

     Teman-teman saya yang lain pun ikut menceburkan diri. Melihat kehadiran teman-teman saya itu, ada dua anak yang bikin hati saya geli setengah mati. Usman dan Maran, masing-masing membawa dua kantong plastik besar yang digantung di leher dan plastik besar satunya lagi dia ikat di bagian pinggang. Mereka yakin banget kalau akan mendapatkan banyak ikan. Posisi tanggok-tanggok mereka pun sudah diceburkan ke dalam air. Sepasang kaki harus kuat menjepit atau menahan tanggok agar tidak terbawa arus. Atau, kalau ingin posisi tanggok lebih kokoh lagi, kedua tangan pun harus memegangi bagian atas tanggok.

     "Gua angkat nih, ya tanggok-nya," kata saya sebelum mengangkat tanggok. Sebab, jika secara bersamaan tanggok diangkat, maka ikan-ikan akan lolos begitu saja.
     "Iiih, gua dapet cere dua ekor! Ada udangnya juga!" saya girang bukan main.