CELOTEH ANAK BETAWI
ASSALAMU'ALAIKUM...! MAMPIR YEEE DI MARI...! YUUUK...
Monday, July 23, 2012
Thursday, June 21, 2012
KEBUN BUAH ISTIMEWA
MAJALAH BERDI No.12/Th.II-2011
KEBUN
BUAH ISTIMEWA
Oleh.
Mimi Aira
Tania mengundang beberapa teman sekelasnya
datang ke rumah. Rencananya, hari ini Ayah Tania akan memanen hasil kebunnya.
Namun, Tania sengaja tidak memberitahu teman-temannya tentang kebun buahnya
itu.
Vika, Reno, Amel, dan Adit langsung
menyetujui ajakan Tania.
“Kamu mau kasih kejutan apa sih, Tania?”
tanya Amel penasaran.
“Kamu seperti tidak tahu saja, Mel. Pasti
Tania mau pamer kolam ikan lelenya. Ayahnya Tania, kan peternak lele,” sambar
Adit cepat.
Tania hanya tersenyum saja mendengar
celoteh Adit. Tentu saja teman-teman Tania semakin penasaran dibuatnya.
“Pokoknya, kalian tidak akan menyesal
singgah di kebunku,” ujar Tania kalem.
Mereka pun tiba di rumah Tania. Namun
Tania tidak langsung mengajak mereka ke kebun buahnya. Tania menyuruh mereka
untuk melepaskan dahaga terlebih dahulu.
“Tania, aku sudah tidak haus lagi, nih!
Cepat beritahu kami, Tania! Memangnya kamu punya kejutan apa, sih?” tanya Reno
tidak sabar.
“Iya, Tania. Aku juga sudah tidak sabar,
nih!” timpal Vika.
“Baiklah. Kita ke kebun belakang
sekarang!” kata Tania. Teman-temannya mengikuti langkah Tania.
“Nah, ini dia kejutannya!” seru Tania
riang.
Alangkah terkejutnya teman-teman Tania.
Mereka seperti tidak mempercayai apa yang telah dilihatnya. Di hadapan mereka
tampak buah-buahan segar bergelantungan di dahan yang rendah. Ada beberapa
aneka jenis pohon buah di kebun Tania. Mulai dari pohon belimbing, rambutan,
mangga, papaya, nangka, kelengkeng, dan lain-lain. Semua pohon buah-buahan itu
tampak berbuah lebat. Buah-buahan itu juga tampak ranum dan siap untuk dipetik.
Vika, Reno, Amel, dan Adit tampak kesulitan menahan air liurnya. Buah-buahan
itu memang sangat menggiurkan bagi mereka
“Wow...nikmatnya! Ini semua milik Ayah kamu,
Tania?” tanya Adit sambil menyentuh sebuah jambu biji bangkok yang menggantung
rendah.
Tania lekas mengangguk. Lalu ia hampiri
ayahnya yang sedang memetik buah rambutan.
“Ayah, boleh teman-teman Tania membantu
Ayah?” tanya Tania kepada ayahnya.
“Tentu saja boleh. Jika ada yang mau
membantu Ayah, nanti akan Ayah beri hadiah. Membawa pulang buah-buahan apa saja
yang kalian suka,” kata Ayah Tania.
“Horeeeeee…! Terima kasih, Om!” seru
mereka gembira.
Dengan penuh semangat mereka segera
berlomba membantu Ayah Tania memanen buah-buahan. Sesekali mereka mencicipi
manisnya buah rambutan. Yang lebih asyik lagi, pohon-pohon buah itu semuanya
berdahan rendah. Tinggal mengulurkan tangan saja, maka mereka langsung dapat
memetiknya.
Setelah semua keranjang terisi penuh, Ayah
Tania menyuruh mereka beristirahat.
“Sekarang kalian boleh beristirahat. Juga
boleh memakan buah apa saja yang kalian suka. Kalau kalian mau, bawalah pulang
untuk oleh-oleh di rumah.” ucap Ayah Tania.
“Horeeeee…! Terima kasih, Om!” seru mereka
serempak.
“Tania, kamu kok tidak pernah bilang kalau
punya kebun buah seluas ini? kata Reno sambil menikmati buah rambutan. Amel dan
Vika pun sedang asyik makan buah rambutan.
“Iya, Tania. Coba kalau kami tahu kamu
punya kebun buah, hampir setiap hari kami main ke rumah kamu. Iya kan,
teman-teman?” Adit menimpali ucapan Reno.
“Iya. Betul, Tania. Eh, Tania, kapan-kapan
kami boleh, kan main ke rumah kamu lagi?” tanya Reno lagi.
“Tentu saja boleh. Sebentar lagi buah
dukuhnya juga akan dipanen,” kata Tania.
Mata anak-anak itu berbinar ceria. Mereka
langsung membayangkan betapa manisnya buah dukuh.
“Tania, bagaimana kalau kebun buah kamu
ini kita beri nama?” usul Vika.
“Itu usul yang bagus. Tapi…apa, ya nama
yang pas buat kebun istimewa kamu ini, Tania?” kata Amel sambil berpikir keras.
“Ya sudah kalau begitu! Kita beri nama saja
Kebun Istimewa! Bagaimana, teman-teman? Apa kalian setuju?” Reno ikut memberi
usul.
“Setuju!” sahut Amel cepat. Yang lain pun
mengangguk setuju.
“Nama yang bagus! Keren!” timpal Adit.
Tania hanya tersenyum menanggapi celotehan
teman-temannya.
Setelah puas menikmati buah-buahan,
teman-teman Tania berpamitan pulang. Mereka tidak lupa mengucapkan terima kasih
pada orang tua Tania. Dengan langkah riang, mereka membawa pulang oleh-oleh
yang dipetik dari Kebun Istimewa.
ARA DAN IRA
MAJALAH BERDI No.23/Th.II-2012
ARA DAN IRA
ARA DAN IRA
Oleh:
Mimi Aira
Sore
ini Ara dan Ira hendak bersepeda mengelilingi kompleks perumahan. Di luar,
teman-teman Ara dan Ira sudah tak sabar
menunggu. Mereka berteriak-teriak ribut memanggil nama Ara dan Ira.
“Cepat, Kak!” Ara tiba-tiba masuk ke kamar
Ira.
“Aduh, aku salah pakai!” pekik Ara ketika
melihat baju yang dipakai Ira.
“Sebentar ya, Kak,” katanya lagi. Ara pun
cepat-cepat kembali ke kamarnya. Tak lama kemudian, Ara, adik kembar Ira itu
sudah kembali lagi.
Namun, Ira kaget ketika melihat Ara
memakai kaos oblong merah jambu motif bunga-bunga. Ternyata, Ara sengaja
berganti pakaian yang sama dengan Ira ketika kembali ke kamarnya tadi. Dengan
wajah cemberut Ira lalu mencopot jepit
rambutnya.
“Aku nggak jadi ikut deh, Ra. Kamu saja
yang pergi,” kata Ira tanpa terduga.
“Lho, kenapa sih, Kak? Tadi Kak Ira
sendiri, kan, yang menerima ajakan mereka?” Kini Ara yang kaget mendengar
omongan Ira.
“Aku nggak mau kita pakai baju yang sama,
Ra.”
“Tapi kita, kan, anak kembar, Kak!” potong
Ara cepat.
“Memang kalau kembar itu semuanya harus
serba sama?” sergah Ira.
Ara terdiam sejenak. Lalu katanya, “Kak
Ira nggak kompak lagi, nih. Dulu Kakak nggak pernah malu kita pakai baju yang
sama,” ucap Ara pelan.
“Ara, kamu ngerti, dong. Kita sudah besar.
Masa harus pakai baju yang sama terus, sih!” suara Ira sedikit meninggi.
Ara terdiam sejenak. “Ya sudah, kalau Kak
Ira maunya begitu. Tapi aku nggak mau ganti baju lagi. Kak Ira saja yang ganti
baju sana,” kata Ara akhirnya.
Wajah Ira berseri-seri. Ia pun segera berganti
pakaian. Ira memang sudah mulai malu jalan berdua Ara dengan memakai baju yang
sama. Ia juga berpesan pada mamanya agar tidak lagi membelikan sesuatu untuknya
yang sama persis dengan Ara.
“Ara, aku sudah siap, nih! Berangkat yuk…”
ucap Ira riang.
“Terlambat, Kak! Teman-teman kita sudah
pergi semua. Kak Ira sih kelamaan ganti bajunya.” Muka Ara bersungut-sungut.
Dengan kesal ia masuk ke kamarnya seraya membanting pintu.
“Kita susul mereka, Ra!” teriak Ira dari
luar.
“Kakak pergi saja sendiri!” Ara balas
berteriak.
“Kok malah ngambek, sih,” gumam Ira.
Sejak saat itu, Ara tidak pernah lagi
memakai sesuatu yang sama dengan Ira yang menandakan, bahwa mereka adalah dua saudara
kembar. Tentu saja Ira merasa senang sekali. Sebab, Ara mulai memahami
keinginannya.
***
Hari minggu pagi muka Ira tampak muram.
Tidak seperti biasanya Ira bersedih seperti itu. Melihat wajah kakaknya murung
terus, Ara mencoba menanyakannya langsung.
“Ada apa sih, Kak? Sore ini kita mau ke
pesta ulang tahun Anya, kan? Seharusnya Kak Ira gembira, dong,” tegur Ara
hati-hati.
Tapi Ira tak mau menjawab. Mimik wajahnya
muram dan sedih. Ia teringat lagi obrolannya dengan Anya kemarin. Saat itu Anya
bersemangat sekali bercerita tentang persiapan pesta ulang tahunnya.
“Pokoknya, ulang tahunku kali ini paling
spesial, Ra. Makanya, besok, supaya aku tidak bisa menebak yang mana kamu, dan yang
mana Ara, kalian berdua harus dandan semirip mungkin!” Anya menjelaskan
keinginannya kepada Ira.
“Pakaian juga harus sama ya, An?” tanya
Ira.
“Iya dong!” jawab Anya bersemangat.
Duuuh, kenapa sih Anya malah menyuruhnya
memakai pakaian yang sama dengan Ara? Buat Ira, permintaan Anya itu terlalu
berat. Tapi, Anya itu kan sahabat karib ia dan Ara. Kalau Ira menolak pasti
Anya akan sangat kecewa sekali. Dan sekarang, Ira benar-benar bingung
memikirkannya.
“Kak Ira…!” Ara mengagetkan Ira yang
sedang melamun.
“Kok malah bengong, sih? Ada apa sih, Kak?
Cerita dong sama Ara,” pinta Ara.
Ira tetap tak mau menjawab. Mulutnya masih
terkunci rapat. Lalu dengan tergesa ia tinggalkan Ara sendirian di teras depan.
Sore harinya, Ara dan Ira sudah
bersiap-siap ke pesta ulang tahun Anya.
“Kita pakai baju yang ini saja, Ra. Jepit
rambutnya pakai yang kupu-kupu. Oh iya, jangan lupa pakai sepatu kesayangan
kita juga ya, Ra.” Ira tampak bersemangat sekali.
“Lho, Kak Ira, kan, tidak mau pakai baju
yang sama denganku?” Ara terheran-heran.
“Hari ini kita harus tampil istimewa di
depan Anya, Ra. Kita buat dia susah membedakan yang mana aku, yang mana kamu.
Kamu setuju kan, Ra?” Mata Ira mengerling lucu pada Ara.
Ara pun cepat mengangguk. Ya, tentu saja
Ara setuju. Mereka melakukan ini demi menyenangkan hati Anya, sahabat mereka.
Jadi, siapa bilang Ira tidak bisa tampil kompak lagi dengan Ara?
Thursday, May 3, 2012
CELOTEH ANAK BETAWI
By: Mimi Aira
Babeh gue nyegir kuda
waktu Enyak gue nyap-nyap abis-abisan di ruang makan. Gue, yang saat itu baru
aja pulang sekolah, udah bisa ngebaca situasi yang ada di depan gue. Pasti ada
sesuatu yang salah yang telah dilakukan Babeh ke Enyak. Kalo nggak, mana mungkin
Enyak pasang muka angker begitu.
“Salam
lekuuum…” Gue mengucap salam dengan nada panjang.
“Kum
salam!” Enyak noleh sebentar ke arah gue sambil nyaut ketus . Babeh juga ikutan nyaut, tapi pelan aja suaranya.
“Pokoknye, Ipeh kagak mao kejadian kayak gitu terulang lagi!” semprot Enyak sewot. “Lagian,
Abang nape kagak mao nengok ke
belakang dulu, sih? Coba kalo nengok ke belakang dulu, Ipeh kagak bakalan
ketinggalan, Bang!” Enyak kelihatan ngotot banget kayaknya.
Gue liat Babeh nggak berucap apa-apa, dia duduk
santai sambil ngunyah bubur kacang panjang ijo. Sekilas Babeh ngelirik
gue yang hendak mencium tangannya. Lalu, gue cium juga tangan Enyak.
Sebenernya, gue kagak berani mendekat kalo Enyak lagi sensi begitu. Rupanya, Enyak bener-bener marah sama Babeh hari
ini.
Kalo inti persoalannya sih gue udah yakin,
pasti soal keteledoran Babeh yang lupa naek-in Enyak di boncengan motornya
lagi.
Karna perut gue udah lapar berat, setelah
cuci tangan, maka gue putuskan untuk
segera makan siang.
“Neh
ayamnya mana, Nyak? Kembang duren melulu…” tanya gue sambil nyendok nasi. Gue
juga berharap, dengan gue mengalihkan perhatian mereka, maka keduanya nggak
lagi ribut.
“Tangkep noh di kebon! ” ketus enyak lagi.
“Nyak, Piyan mao-nya tuh ayam udah tinggal makan. Kagak pake acara ngejar-ngejar
ayam dulu. Dimasak dulu. Digoreng dulu… Lah, terus kapan Piyan makannye? Keburu
perut Piyan kenyang ‘kali, Nyak,” tutur gue panjang lebar.
BRAK!
Meja digebrak Enyak tanpa permisi
dulu. Gue dan Babeh jelas kaget dibuatnya. Bahkan, sempet gue lihat Babeh kejet-kejet saking kagetnya.
“Heh, Yan, nyang bilang tuh ayam suruh dimasak dulu siape?!” semprot Enyak emosi.
“Laaaah, tadi ‘pan Enyak sendiri nyang bilang kalo Piyan disuruh nangkep
ayam dulu. Bijimane sih, Nyak?”
tanggap gue nyablak. Sementara Babeh masih sibuk ngelus-ngelus dadanya yang hampir meledak saking kagetnya.
“Eh, maksud Enyak, tuh ayam langsung aja
lu gigit-gigit kalo emang laper,” kata Enyak tanpa perasaan.
“Heyaaah, Enyak…jadi Piyan disuruh makan ayam idup-idup, gitu? Ogah!
Lagian, emang Piyan musang!”
“Abaaaang, dengerin kagak sih kalo bini
lagi ngomong?!” Enyak mulai nyap-nyap lagi. Dan kembali Babeh yang jadi
sasarannya.
“Iye.
Gue denger, Ipeh. Tapi ya, Peh, kalo
ngomong jangan pake teriak-teriak begitu, DWOOOONG!
Lobang kuping gue mo soak, neh!”
Babeh nggak kalah ngotot. Mukanya dia tempelin ke muka Enyak.
Sikap Babeh itu membuat Enyak gue bengong di tempat. Tanpa suara, tanpa kata-kata. Mendapat tanggapan seperti itu dari Babeh, kayaknya nih, Enyak nggak bakal nyap-nyap lagi, deh. Mulut doi udah mingkem sekarang.
Sikap Babeh itu membuat Enyak gue bengong di tempat. Tanpa suara, tanpa kata-kata. Mendapat tanggapan seperti itu dari Babeh, kayaknya nih, Enyak nggak bakal nyap-nyap lagi, deh. Mulut doi udah mingkem sekarang.
Sukur, sukur…! seru gue dalam hati.
“Eh, Bang, Ipeh tuh, ye…kalo ngomong kagak
pernah nyang namanya teriak-teriak!” sambut
Enyak lantang.
“Tapi ye, Bang, kalo Ipeh digini-in terus,
Ipeh jadi sebel ame Abang! Tiap Ipeh naek motor, terus Ipeh turun, nape Abang lupa ngeboncengin
Ipeh lagi? Ape Abang emang kagak cinte lagi ame
Ipeh, iye Bang? Ayo ngaku! NGAKOOOOO…!”
Enyak lantas melolong panjang sambil kecak pinggang.
Gue yang saat itu lagi asyik ngemut nasi,
mendadak geli setengah mati ngeliat reaksi Babeh. Doi dengan gemesnya ngegigit
pinggiran meja makan.
“Ipeh…” panggil Babeh sambil menatap
tajam istrinya. “Rrrrr…” Entah kenapa mulut Babeh tiba-tiba menggumam nggak jelas sambil menggoyangkan kepalanya ke
sana-kemari...
Hiiyyy, kenapa Babeh jadi nyeremin gitu,
ya? Hihihi… Sabar, Beh, sabar…
“Nyak, Pian lagi pengen makan sambel
terasi, neh. Tulung bikinin ye, Nyak.” Gue coba lagi menetralisir suasana. Eh,
tapi Alhamdulillah, ya…Enyak gue langsung ngambil cabe, tomat, terasi, dan
nyamber ulekan, tuh.
BRAK!
Dalam sekejap, tuh ulekan udah ngejogrok
di depan gue. Dibanting Enyak dengan sekenceng-kencengnya.
“Astapirloh,
Enyak! Jantung Pian sampe melorot, neh!”
protes gue kaget.
“Bodo mamat,
ah!” Enyak gue cuek bebek.
“Neh, elu bikin ndiri sambel terasinye. Enyak mao introgasi Babeh lu. Kebiasaan banget emang tuh Babeh lu. Di manaaa
aja…ato, ke manaaa aja…Enyak lupa
diboncengin lagi. Padahal neh, Yan, nyang Enyak naek-in itu baru belanjaan
doang. Enyak belon naek, eh Babeh lu udah maen ngacir aje. Empet banget kan Enyak jadinye…” kata Enyak pada gue.
Saat gue lirik Babeh, dia cuman diem
sambil ngegigit mangkok kosong. Hihihi…
“Bang, jangan diem aje, dong! NGOMONG!”
sentak enyak kenceng.
“Ipeh
nyang botoh. Nyang cakep. Nyang semok…‘pan Abang udah
minta maap. Waktu entu, Abang pikir
lu udeh naek, eh kagak tau-nya belanjaan elu doang nyang naek. Elu juga sih, kenapa diem aja waktu entu?” kelit Babeh gue. “Jadi, bukan salah Abang juga, dong,”
katanya lagi.
Enyak melotot lebar ke arah Babeh.
“Makanya, Bang, nengok ke belakang dulu.
Biar Abang tao kalo Ipeh tuh udah
naek apa belom. Ini nggak, maen tarik gas aje! Abis deh Ipeh jadi bahan ketawaan orang-orang di warung Ucok.”
“Pantesan, Peh, kok rasanya motor gue
enteng banget. Biasanye, kalo elu udah naek ‘pan langsung “jleb” gitu, ya. Berasa kayak ada gajah menclok di
belakang gue. Hihihi…” Babeh ngikik di kolong meja.
Gue yang lagi ngulek sambel sempet geli
juga ngedengernya. Tapi, sebisa mungkin gue umpetin senyum gue itu. Gue takut
Enyak jadi tersinggung dan kemudian malah gue yang diulek doi. Hihihi…
“Nyak…” Gue mulai bersuara lagi.
“Minta ape lagi, hah?!” semprot Enyak gue
napsu.
Hadeuuuh…baru juga ngomong sepotong, eh si Enyak maen sentak aja.
“Eni,
Nyak…mata Pian kepedesan. Tulung
ambil tisu dong, Nyak.” Gue merintih-rintih. Perih banget rasanya. Padahal neh, tuh biji cabe mentalnya di gigi
gue. Tapi, kenapa, malah mata gue yang pedes, ya? Aneh nggak, sih?
“Pake serbet dapur Enyak aje nih, Yan.”
Enyak nyodorin serbet ke gue.
Dengan cepat gue samber serbet itu. Lalu,
gue tekan lembut mata gue dengan serbet.
“Masih berasa pedes kagak, Yan?” tanya
Enyak was-was.
“Udeh mendingan sih, Nyak.”
“Lah, Peh, bukannya tuh serbet bekas
ngelap anuan bebek tadi?” celetuk
Babeh kemudian.
Enyak mendadak mundur selangkah. Lalu,
doi berdiri di pojok ruangan sambil menutup mulutnya. Kayaknya sih Enyak lagi mentertawakan sesuatu.
“Hah? Anu-an
apaan? Maksud Babeh apa sih, Beh? Beh, kalo ngomong nyang jelas nape!” Gue tatap heran wajah Babeh.
“Itu-an bebek! Masa kagak ngerti juga sih
lu, Yan? Ampas belakangnya bebek, Piyaaaan! Lola
banget sih lo!” hardik Babeh gemes.
“Jadi? Ohmehot!
Nyang bener, Nyak?!” tanya gue kaget.
“Ja-Jadi…it-itu?” Gantian gue pandang Enyak
gue. Doi masih tampak sibuk menahan rasa gelinya.
“Enyaaaaaaaaak!” Gue menjerit
sejadi-jadinya sambil ngebanting serbet. Gue kelojotan di kolong meja makan.
Gue meraung kenceng. Dan gue…gue capek sendiri akhirnya.
“Enyak tega…” lirih gue pilu.
“Maap deh,
Yan… Enyak lupa kalo entu serbet
kotor.” Enteng aja jawaban Enyak.
Gantian Babeh yang ngikik sekarang.Hihihi...
Emang pada tega semuanya!
“Lah, Yan, mao ke mane lu?!” teriak Enyak.
“Mandeee!”
Gue langsung ngibrit ke kamar mandi.
“Lah, tuh bocah, ya…mandi siang-siang
begini,” gumam Enyak.
“Abaaang…! Mau ke mana, Bang?! Ini bijimane, sih? Urusan kita ‘pan belon kelar!” Enyak ngoceh
sendirian sampe doi megap-megap.
“Aduh, Peeeh…gue janji dah kagak bakalan
ninggalin lu lagi. Tapi eni,
nih…perut gue mules banget. Kebanyakan makan bubur kacang ijo ‘kali, neh. Udeh ye, gue mao nyetor dulu. Daag,
Ipeh…!” Abis melambai genit, Babeh pun langsung melompat gesit ke ruang “unit
gawat darurat”.
Ya. Emang seperti itulah suasana gaduh di
rumah gue setiap harinya. Apalagi, kalo anak Enyak-Babeh gue yang ada tujuh
orang itu ngumpul semua di rumah. Suara ratusan bebek aja masih kalah rame
dengan suasana di rumah gue. Lu bisa bayangin sendiri, kan kayak apa ributnya?
Mau lagi ribut kek, enggak kek, tetep aja ngomongnya pada kenceng. Enggak
peduli kalo lawan bicaranya lagi ngejogrok di depan muka sendiri.
Sekali lagi, seperti itulah kehidupan
keluarga gue sehari-hari.
Nape? Gue masih betah aja tinggal di rumah
kayak gini? Sebenernya sih gue pengen banget protes sama kelakuan Enyak-Babeh
gue. Dan pernah juga suatu ketika gue protes. Tapi apa tanggapan Enyak-Babeh
gue, coba? Kepala bulet gue abis diunyeng-unyeng!
What?
Ape lo bilang, ini derita gue? Suwe banget
lu pada! *ngasah pedang*
Namun, biar bagaimanapun juga gue tetep
sayang sama Enyak dan Babeh gue. Abang-abang gue. Mpok-mpok gue. Adik gue. Ikan
julung-julung gue. Ayam-ayam gue. Bebek. Kebo. Sapi. Kambing. Semuanya.
Semuanya…
***
Pagi itu, di dapur Enyak yang
rada-rada keren tapi rada-rada amburadul juga, gue lihat Enyak lagi duduk
sedih di atas kulkas.
“Yaoloooh,
Enyak! Nape naek-naek di situ, sih? Kalo sampe kulkasnya rusak kan sayang,
Nyak. Toron!” Gue deketin Enyak sambil mencoba membantunya turun.
“Kagak! Enyak mao duduk terus di mari,”
tolak Enyak tegas.
“Nah loh! Tapi sampe kapan, Nyak?”
“Sampe Babeh lu janji ame Enyak, kalo dia kagak ninggalin Enyak diboncengan motornye lagi,”
katanya lirih.
“Ya udeh. Entar Piyan bantu ngomong ke Babeh, deh. Nyang penting sekarang Enyak turun dulu. Lagian ‘pan
Enyak pernah bilang, kalo setiap permasalahan itu ada jalan keluarnya.
Ayo, Nyak, turun …” Gue bujuk lagi Enyak.
Akhirnya Enyak mau turun juga dari
atas kulkas.
“Nyak, emang Babeh dulunya kayak gitu, ye?
Suka lupa-an ato emang Babeh udeh
pikun, sih?” Gue ajak Enyak gue bicara. Siapa tahu setelah berbagi rasa dengan
gue, hatinya nggak sedih lagi.
“Sebenernya sih Babeh lu emang kayak gitu
sejak kite jadian dulu. Orangnye gampang lupa. Tapi, belakangan ini Babeh lu
makin sering lupanye, Yan. Enyak sih sebenernya bisa memaklumi. Tapi gimana
ya…Enyak suka sedih juga, ‘pan,”
suara Enyak gue masih lirih. Bahkan, gue lihat matanya mulai berkaca-kaca.
Duh, nggak tega gue ngeliatnya…
“Nyak, Piyan rasa, Enyak kurang memahami
aje deh sifat pelupa Babeh. Neh maap maap
ye, Nyak. Kalo Piyan liat, Enyak mungkin terlalu berlebihan menyikapi ulah
Babeh itu.”
BRAK!
Gue melongo ngeliat meja makan yang pecah
berkeping-keping digebrak Enyak barusan. Duile, Nyak…biasa aja nape!
“Maksod
lo?” Enyak gue berang. Raut mukanya gue kenal betul, ngajak berantem!
“Maksud Piyan gini, Nyak. Contohnya Piyan, neh… Piyan bisa nerima kelebihan dan
kekurangan pacar Piyan. Walow-pun
pacar Piyan super galak, tapi dia nyeremin,” ujar gue yakin.
Tuing! Pala gue dijeguk Enyak gue.
“Di mane kelebihannye? Udah galak,
nyeremin ‘lagi…” protes Enyak.
Gue nyengir bajing.
“Hehehe…maksud Piyan, biar pacar Piyan
galak, tapi dia perhatian banget ame
Piyan, Nyak. Jadi, kenapa Piyan bisa jalan ame
die selama dua taon, coba?”
“Mana Enyak tau! Malah nanya ‘lagi lu…”
Enyak tampak kesel banget.
“Ya, karna Piyan nggak cuma nerima
kelebihannye aje, tapi juga kekurangan die. Gicyu,
Nyak…”
“Jadi, ceritanya elu mao ngajarin Enyak, neh…”
“Ya, kagak begitu maksud Piyan, Nyak. Itu sih
terserah gimana tanggapan Enyak aje. Piyan cuma pengen Enyak ame Babeh hidup rukun, Nyak.”
Hehehe… Asal lo semua pada tau, sebenernya
gue ini belum pernah punya pacar. Duh, gue jadi nggak enak nih udah ngebohongin
Enyak gue.
Nyak, maapin Piyan, ya Nyak…
“Iye. Enyak tau elu kagak maksud kurang
ajar ame Enyak, Yan. Emang sih, ade
benernye juga omongan lu. Seharusnya Enyak kagak cuma bisa nerima kelebihan
Babeh aje, tapi juga kekurangannye. Makasih ya, Yan. Elu udeh membuka mata hati
Enyak. Enyak sayang banget ama elu, Yan.”
“Piyan juga, Nyak.” Gue peluk Enyak erat.
“Nyak, besok-besok kalo Enyak turun dari
motor, pada saat Enyak mao naek, suruh nengok ke belakang dulu Babeh-nye. Biar
Enyak kagak ditinggal lagi,” ujar gue.
“Iye, Yan.”
“Ato
gini aja, Nyak…tiap Enyak turun, iket aja batu gede di ban motor Babeh. Jadi
kan lari motornya kagak jauh-jauh, Nyak. Terus, Enyak kejar deh tuh
motor Babeh,” usul gue.
“Pinter lu, Yan!” Enyak manggut-manggut girang.
“Huhuhu…Hwuaaaa…Enyaaaaaaak…!”
Di depan rumah, tiba-tiba mpok gue yang
baru pulang sekolah meraung-raung kenceng.
Gue dan Enyak langsung ngibrit ke
luar.
“Elu kenape sih, Mar, pulang-pulang mewek begitu? Abis disetrap guru lu, ye?” tanya Enyak buru-buru.
“Bukan disetrap,
Nyak. Tapi Mariam nyesel udah ngabisin duit jajan sekolah. Huhuhu…” Mpok gue
masih nangis.
“Lah, ‘pan
emang tuh duit buat jajan elu, Mar. Ngapain pake nangis?”
“Nyak, bukan entu masalahnye!” Mpok gue kelojotan sendiri.
“Mariam nangis karna ditinggalin Babeh di
POM bensin! Hwuaaaaa…”
Hihihi…gue ngikik sampe jungkir balik.
Enyak gue juga ikut ketawa tanpa suara, tapi kedua bahunya berguncang keras.
Ternyata, mpok gue pun telah jadi korban
keteledoran Babeh. Hihihi… Babeh...Babeh!
Thursday, February 2, 2012
KENANGAN MASA KECIL si ANAK BETAWI (PART 1)
SERUNYA BERBURU IKAN DI SAWAH
Masa kanak-kanak itu memang menyenangkan. Semua masa-masa itu selalu terasa indah untuk dikenang. Meski dulu kita sering ribut, marahan, dan saling ejek dengan teman main, tapi semua itu tetap sebuah kenangan manis yang sulit untuk dilupakan. Apalagi jika di masa kecil banyak kegembiraan yang kita dapatkan, tentu mengingatnya lebih membahagiakan lagi. Seperti misalnya diajak piknik bersama keluarga. Punya banyak mainan lucu yang keren dan mahal. Atau, selalu ada pesta meriah bila berulang tahun. Dan pastinya, semua orang tentu senang mengingat lagi masa kecilnya.
Namun menurut saya, masa kecil itu juga bisa terasa begitu indah biar hanya sekedar berlarian di pematang sawah atau galengan. Berteriak-teriak nyaring sambil turun ke sawah, kemudian berlomba-lomba mencari ikan. Jika tak dapat ikan, main lempar-lemparan lumpur juga oke. Kalau muka belum kena "tembakan" lumpur, maka belum boleh beranjak naik.
Dulu, saya paling suka jika Engkong saya memanen ternak ikan mas-nya. Sehabis subuh saya langsung diajak Emak menuju areal persawahan.
"Kenapa mesti pagi-pagi sih, Mak? Umi 'pan masih ngantuk," ucap saya ketika itu.
"Kalo kagak pagi-pagi, Mi, tuh tempat nadang keburu diserobot orang," jawab Emak. Oh ya, nadang itu artinya menghadang ikan yang terbawa arus air pada galengan yang sengaja dibuat putus. Biasanya, pada saat nadang itu, ada alat khusus yang di kampung saya akrab disebut tanggok. Tanggok itu sendiri terbuat dari anyaman bambu yang sengaja dibuat berlubang-lubang kecil. Ukuran tanggok setara dengan gabungan tiga buah bola basket. Sedangkan bentuknya hanya setengah lingkaran.
Berhubung yang punya sawah adalah Engkong saya, maka memang harus berdiri paling depan. Sesudahnya, di belakang saya, orang lain atau siapa saja boleh ikutan nadang.
Aliran air mulai turun deras saat Engkong saya memutus galengan sawah. Pada bagian depan dibuat pagar bambu dengan celah yang tidak terlalu besar. Tujuannya agar ikan-ikan besarnya tidak ikut nyelonong turun ke bawah. Tetapi, jika ikan-ikan ternak sudah ditangkap semua, pagar bambu itu akan dilepaskan.
Saya, sejak dua menit yang lalu sudah turun di bawah derasnya aliran air. Sambil berusaha keras menahan dingin yang menggigil, bibir saya sempat gemetar. Sementara Enyak saya membuat kopi untuk Engkong dan Babeh yang tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Lama-lama bibir saya mulai biru. Kulit muka juga mulai terasa tebal akibat terlalu lama menahan dingin. Tapi, karena ada seekor ikan cere yang mulai mampir ke tanggok saya, rasa beku yang menjalari tubuh saya hilang perlahan-lahan. Saya mulai keasyikan nadang. Ikan cere semakin banyak yang terbawa arus. Ada udang, ikan sepat, dan ikan betok. Begitu ikan julung-julung yang muncul di tanggok saya, langsung saya lepaskan lagi. Kata Emak, ikan julung-julung rasanya pahit.
Tak terasa, hari mulai beranjak siang. Wajah persawahan yang gelap dan dingin mulai membiaskan cahaya terang. Mulai memperlihatkan betapa eloknya alam sekitar. Di sudut petak sawah lainnya, tampaklah wajah-wajah penuh semangat, langkah kaki yang gesit, sambil menenteng jaring, susrug dan tanggok. Orang-orang di kampung saya mulai berdatangan, menuju sawah Engkong saya. Mereka berbondong-bondong berjalan di sepanjang tepian galengan menuju sawah Engkong, untuk mencari ikan.
Berita mengenai Engkong saya yang hendak panen ikan mas begitu cepat menyebar. Padahal, ketika itu belum ada alat telekomunikasi seperti sekarang ini. Penyampaian pesan atau berita itu cukup dari mulut ke mulut saja.
"Umiiiii, ikutan dong, Mi...!"
"Mi, gua di belakang lu ya, Mi!"
"Mi, lu udah dapet banyak belum, Mi?"
"Umi...!"
"Umi ajak gua dooong!"
Beberapa teman-teman akrab saya tahu-tahu muncul dan berlarian menuju tempat saya nadang.
BYUR!
Nadir malah langsung nyebur begitu tiba di dekat saya.
"Pelan-pelan dong, Dir! Ikannya pada kabur, tuh," gerutu saya kesal.
"Eh, anak perempuan paling depan!" serobot Janiyah. Dia merangsek maju. Kini posisinya tepat di belakang saya.
"Rese lu ya, Jan. Dasar anak cewek! Tuh ambil! " Nadir ngoceh tak terima. Badannya yang kerempeng hampir saja terbawa arus air yang deras. Kalau saja tidak berpegangan pada tanaman rambat yang tumbuh pada galengan, ia pasti sudah timbul -tenggelam terbawa arus.
Teman-teman saya yang lain pun ikut menceburkan diri. Melihat kehadiran teman-teman saya itu, ada dua anak yang bikin hati saya geli setengah mati. Usman dan Maran, masing-masing membawa dua kantong plastik besar yang digantung di leher dan plastik besar satunya lagi dia ikat di bagian pinggang. Mereka yakin banget kalau akan mendapatkan banyak ikan. Posisi tanggok-tanggok mereka pun sudah diceburkan ke dalam air. Sepasang kaki harus kuat menjepit atau menahan tanggok agar tidak terbawa arus. Atau, kalau ingin posisi tanggok lebih kokoh lagi, kedua tangan pun harus memegangi bagian atas tanggok.
"Gua angkat nih, ya tanggok-nya," kata saya sebelum mengangkat tanggok. Sebab, jika secara bersamaan tanggok diangkat, maka ikan-ikan akan lolos begitu saja.
"Iiih, gua dapet cere dua ekor! Ada udangnya juga!" saya girang bukan main.
Dulu, saya paling suka jika Engkong saya memanen ternak ikan mas-nya. Sehabis subuh saya langsung diajak Emak menuju areal persawahan.
"Kenapa mesti pagi-pagi sih, Mak? Umi 'pan masih ngantuk," ucap saya ketika itu.
"Kalo kagak pagi-pagi, Mi, tuh tempat nadang keburu diserobot orang," jawab Emak. Oh ya, nadang itu artinya menghadang ikan yang terbawa arus air pada galengan yang sengaja dibuat putus. Biasanya, pada saat nadang itu, ada alat khusus yang di kampung saya akrab disebut tanggok. Tanggok itu sendiri terbuat dari anyaman bambu yang sengaja dibuat berlubang-lubang kecil. Ukuran tanggok setara dengan gabungan tiga buah bola basket. Sedangkan bentuknya hanya setengah lingkaran.
Berhubung yang punya sawah adalah Engkong saya, maka memang harus berdiri paling depan. Sesudahnya, di belakang saya, orang lain atau siapa saja boleh ikutan nadang.
Aliran air mulai turun deras saat Engkong saya memutus galengan sawah. Pada bagian depan dibuat pagar bambu dengan celah yang tidak terlalu besar. Tujuannya agar ikan-ikan besarnya tidak ikut nyelonong turun ke bawah. Tetapi, jika ikan-ikan ternak sudah ditangkap semua, pagar bambu itu akan dilepaskan.
Saya, sejak dua menit yang lalu sudah turun di bawah derasnya aliran air. Sambil berusaha keras menahan dingin yang menggigil, bibir saya sempat gemetar. Sementara Enyak saya membuat kopi untuk Engkong dan Babeh yang tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Lama-lama bibir saya mulai biru. Kulit muka juga mulai terasa tebal akibat terlalu lama menahan dingin. Tapi, karena ada seekor ikan cere yang mulai mampir ke tanggok saya, rasa beku yang menjalari tubuh saya hilang perlahan-lahan. Saya mulai keasyikan nadang. Ikan cere semakin banyak yang terbawa arus. Ada udang, ikan sepat, dan ikan betok. Begitu ikan julung-julung yang muncul di tanggok saya, langsung saya lepaskan lagi. Kata Emak, ikan julung-julung rasanya pahit.
Tak terasa, hari mulai beranjak siang. Wajah persawahan yang gelap dan dingin mulai membiaskan cahaya terang. Mulai memperlihatkan betapa eloknya alam sekitar. Di sudut petak sawah lainnya, tampaklah wajah-wajah penuh semangat, langkah kaki yang gesit, sambil menenteng jaring, susrug dan tanggok. Orang-orang di kampung saya mulai berdatangan, menuju sawah Engkong saya. Mereka berbondong-bondong berjalan di sepanjang tepian galengan menuju sawah Engkong, untuk mencari ikan.
Berita mengenai Engkong saya yang hendak panen ikan mas begitu cepat menyebar. Padahal, ketika itu belum ada alat telekomunikasi seperti sekarang ini. Penyampaian pesan atau berita itu cukup dari mulut ke mulut saja.
"Umiiiii, ikutan dong, Mi...!"
"Mi, gua di belakang lu ya, Mi!"
"Mi, lu udah dapet banyak belum, Mi?"
"Umi...!"
"Umi ajak gua dooong!"
Beberapa teman-teman akrab saya tahu-tahu muncul dan berlarian menuju tempat saya nadang.
BYUR!
Nadir malah langsung nyebur begitu tiba di dekat saya.
"Pelan-pelan dong, Dir! Ikannya pada kabur, tuh," gerutu saya kesal.
"Eh, anak perempuan paling depan!" serobot Janiyah. Dia merangsek maju. Kini posisinya tepat di belakang saya.
"Rese lu ya, Jan. Dasar anak cewek! Tuh ambil! " Nadir ngoceh tak terima. Badannya yang kerempeng hampir saja terbawa arus air yang deras. Kalau saja tidak berpegangan pada tanaman rambat yang tumbuh pada galengan, ia pasti sudah timbul -tenggelam terbawa arus.
Teman-teman saya yang lain pun ikut menceburkan diri. Melihat kehadiran teman-teman saya itu, ada dua anak yang bikin hati saya geli setengah mati. Usman dan Maran, masing-masing membawa dua kantong plastik besar yang digantung di leher dan plastik besar satunya lagi dia ikat di bagian pinggang. Mereka yakin banget kalau akan mendapatkan banyak ikan. Posisi tanggok-tanggok mereka pun sudah diceburkan ke dalam air. Sepasang kaki harus kuat menjepit atau menahan tanggok agar tidak terbawa arus. Atau, kalau ingin posisi tanggok lebih kokoh lagi, kedua tangan pun harus memegangi bagian atas tanggok.
"Gua angkat nih, ya tanggok-nya," kata saya sebelum mengangkat tanggok. Sebab, jika secara bersamaan tanggok diangkat, maka ikan-ikan akan lolos begitu saja.
"Iiih, gua dapet cere dua ekor! Ada udangnya juga!" saya girang bukan main.
Monday, January 30, 2012
SAYA ANAK BETAWI
Saya adalah anak betawi tulen! Babe, Enyak, Engkong, dan Nenek saya, semuanya asli betawi. Orang bilang, suku betawi itu suku yang nggak berbudaya, atau, ada juga yang bilang orang betawi itu ketinggalan jaman, sering kena gusur, lalu tinggal di pinggir kampung. Tapi, apa iya seperti itu kenyataannya?
Kalo sering kena gusur dan tinggal di pinggir kampung sih, emang iya juga kali, ya. Soalnya, suku betawi kan emang penghuni Ibukota. Jadi, mau nggak mau kalo waktunya kena gusur, ya kita minggir, dah. Abis mau gimana lagi, coba? Mungkin emang buat kemajuan kota Jakarta 'kali.
Tapi, kalo soal nggak berbudaya, seperti mungkin orang betawi ngomongnya nyablak, asal ngejeplak, ya emang seperti itulah gaya bicara orang betawi. Dialeknya meskipun ceplas-ceplos tapi masih punya tata krama dan etika, kok. Jadi, jangan pernah bilang orang betawi nggak berbudaya, loh. Kalo sekiranya ada tambahan lain tentang 'nggak berbudaya' ini, silahkan Anda melengkapi tulisan saya ini dengan kata-kata yang tidak menyinggung ataupun melecehkan pihak manapun.
Terus, kalo soal orang betawi itu ketinggalan jaman, kate siape, coba? Itu kan dulu. Menurut saya pribadi, orang betawi udah mulai menunjukan 'taring'-nya. Peka terhadap perkembangan jaman. Bersedia mendukung anak-anaknya bersekolah setinggi mungkin. Punya tekad yang kuat untuk terus maju, berkarya, serta bersosialisasi dengan beragam RAS demi kemajuan dan ketentraman kota Jakarta tercinta.
Meskipun sudah tergusur di pinggir kampung, tersisih, nggak lantas orang betawi menjadi minder. Nggak lantas menyurutkan senyum dan celoteh ramah kepada para pendatang baru di kota besar ini. Orang-orang betawi selalu ramah kepada siapa saja. Sigap menolong jika orang lain butuh bantuan, tanpa pandang bulu. Begitulah orang betawi, yang jika datang waktu sholat, kaum laki-laki berdatangan ke musholla atau masjid untuk menunaikan sholat berjamaah. Sedangkan kaum perempuan, terutama para Ibu semakin rajin dan rutin mengadakan pengajian baik siang maupun malam.
Saya tentu bangga menjadi anak betawi. Seluk beluk budayanya yang unik, keramahan orang-orangnya, dialeknya, lingkungannya, semuanya...! Saya sungguh merasakan, betapa indahnya berada dalam suasana lingkungan betawi.
Saya memang bukan seorang penulis yang pintar merangkai kata-kata. Maka itu, bila ada kekurangan dalam tulisan saya ini, mohon kiranya dimaklumi. Dan bila ada kata-kata saya yang menyinggung, yang melanggar aturan, atau apapun itu, mohon dimaafkan.
Sunday, January 22, 2012
UNEG-UNEG MALAM HARI
Menjadi seorang penulis itu adalah impian saya. Dengan hanya berbekal ilmu dari hobi membaca saya, maka saya ingin juga menumpahkan apa yg ada di dalam hati dan fikiran saya untuk saya jadikan cerpen.
Belajar secara otodidak memang banyak kekurangannya. Baik itu dalam bertutur, dialog, EYD, tanda baca, dan perbendaharaan kata saya yang punya pun masih sedikit. Tidak jarang saya membuka Kamus Bahasa Indonesia untuk saya jadikan panduan menulis saya.
Buat saya, menulis itu sangat menyenangkan. Saya bisa menumpahkan semuanya di saat hati galau atau ketika saya sedang gembira. Saya juga seringkali terbentur ide yang tiba-tiba macet. Kalau sudah begitu, biasanya saya berhenti dulu menulis. Jalan-jalan keluar rumah, baru setelah pikiran fresh, saya mulai menulis lagi.
Sebenarnya, sudah beberapa kali tulisan saya dimuat di majalah anak, di sebuah tabloid yang sekarang sudah tidak ada, dan saya juga menerbitkan buku melalui self publishing pada sebuah penerbit. Semua karya saya itu memang tidak memuaskan. Bukan tulisan yang sempurna. Mungkin itu juga yang menyebabkan buku saya tidak laku. Tapi, sebagai orang yang sudah terlalu cinta pada dunia tulis-menulis, saya akan terus memperbaiki semua kekurangan yang ada. Terutama meningkatkan minat baca saya pada buku-buku hasil karya penulis senior. Membaca tulisan mereka adalah pembelajaran yang sarat ilmu. Selain itu, saya juga tidak malu-malu bertanya dengan penulis senior yang ada di facebook. Bahkan, saya pernah meminta beberapa penulis yang saya kagumi untuk membaca tulisan saya dan bertanya, di mana kekurangan yang ada pada tulisan saya. Alhamdulillah, mereka semuanya baik dan ramah, serta tidak sombong. Mereka mau berbagi ilmu, pengalaman, dan motivasi kepada saya. Dan saya sangat berterima kasih kepada penulis-penulis idola saya itu.
Sebagai orang yang suka menulis, saya tentu sering mengirimkan karya-karya saya pada redaksi majalah, koran, dan situs online. Rasa kecewa tentu saya rasakan ketika naskah saya selalu ditolak. Baru-baru ini misalnya, saya telah mengirimkan tiga naskah berturut-turut yang ditolak sebuah redaksi. Naskah saya ini bertema ngocol-ngocolan. Pada naskah saya yang pertama, ia bilang suka dengan gaya ngocol saya, hanya saja kurang hikmah. Lalu, saya kirim lagi naskah kedua. Naskah saya ditolak lagi dengan alasan, kurang ngocol. Kemudian naskah ketiga yang juga ditolak. Alasannya, "dialog cerpen ngocol itu nggak selamanya harus ngocol". Lah, wong namanya juga cerpen ngocol, masa iya saya harus menulis dialognya dengan gaya sastra?
Mungkin memang benar adanya, bahwa letak kesalahan tulisan saya memang seperti yang dikatakan editor itu. Kekecewaan saya pun hanya berlangsung sesaat. Seperti kata penulis idola saya, "penolakan naskah itu sudah biasa dalam dunia tulis-menulis. Yang penting, semangat menulis itu harus tetap ada. Dan jangan menyerah!" Kata beliau lagi, "Naskah saya saja masih sering ditolak, kok."
Ya. Tentu saja! Saya akan terus menulis dan menulis. Saya tidak akan pernah menyerah! Meskipun tulisan saya tidak berkenan di hati para redaktur fiksi, tapi setidaknya saya sudah menuangkan uneg-uneg, ide, atau curahan hati saya dalam sebentuk kisah. Karena hal itulah yang terkadang membuat perasaan saya senang dan lapang.
Subscribe to:
Posts (Atom)