CELOTEH ANAK BETAWI

ASSALAMU'ALAIKUM...! MAMPIR YEEE DI MARI...! YUUUK...

Monday, January 30, 2012

SAYA ANAK BETAWI

    Saya adalah anak betawi tulen! Babe, Enyak, Engkong, dan Nenek saya, semuanya asli betawi. Orang bilang, suku betawi itu suku yang nggak berbudaya, atau, ada juga yang bilang orang betawi itu ketinggalan jaman, sering kena gusur, lalu tinggal di pinggir kampung. Tapi, apa iya seperti itu kenyataannya? 

     Kalo sering kena gusur dan tinggal di pinggir kampung sih, emang iya juga kali, ya. Soalnya, suku betawi kan emang penghuni Ibukota. Jadi, mau nggak mau kalo waktunya kena gusur, ya kita minggir, dah. Abis mau gimana lagi, coba? Mungkin emang buat kemajuan kota Jakarta 'kali. 





     Tapi, kalo soal nggak berbudaya, seperti mungkin orang betawi ngomongnya nyablak, asal ngejeplak, ya emang seperti itulah gaya bicara orang betawi. Dialeknya meskipun ceplas-ceplos tapi masih punya tata krama dan etika, kok. Jadi, jangan pernah bilang orang betawi nggak berbudaya, loh. Kalo sekiranya ada tambahan lain tentang 'nggak berbudaya' ini, silahkan Anda melengkapi tulisan saya ini dengan kata-kata yang tidak menyinggung ataupun melecehkan pihak manapun. 

     Terus, kalo soal orang betawi itu ketinggalan jaman, kate siape, coba? Itu kan dulu. Menurut saya pribadi, orang betawi udah mulai menunjukan 'taring'-nya. Peka terhadap perkembangan jaman. Bersedia mendukung anak-anaknya bersekolah setinggi mungkin. Punya tekad yang kuat untuk terus maju, berkarya, serta bersosialisasi dengan beragam RAS demi kemajuan dan ketentraman kota Jakarta tercinta.

    Meskipun sudah tergusur di pinggir kampung, tersisih, nggak lantas orang betawi menjadi minder. Nggak lantas menyurutkan senyum dan celoteh ramah kepada para pendatang baru di kota besar ini. Orang-orang betawi selalu ramah kepada siapa saja. Sigap menolong jika orang lain butuh bantuan, tanpa pandang bulu. Begitulah orang betawi, yang jika datang waktu sholat, kaum laki-laki berdatangan ke musholla atau masjid untuk menunaikan sholat berjamaah. Sedangkan kaum perempuan, terutama para Ibu semakin rajin dan rutin mengadakan pengajian baik siang maupun malam. 

     Saya tentu bangga menjadi anak betawi. Seluk beluk budayanya yang unik, keramahan orang-orangnya, dialeknya, lingkungannya, semuanya...! Saya sungguh merasakan, betapa indahnya berada dalam suasana lingkungan betawi. 

     Saya memang bukan seorang penulis yang pintar merangkai kata-kata. Maka itu, bila ada kekurangan dalam tulisan saya ini, mohon kiranya dimaklumi. Dan bila ada kata-kata saya yang menyinggung, yang melanggar aturan, atau apapun itu, mohon dimaafkan.
  
    


           
                
                     

Sunday, January 22, 2012

UNEG-UNEG MALAM HARI

    Menjadi seorang penulis itu adalah impian saya. Dengan hanya berbekal ilmu dari hobi membaca saya, maka saya ingin juga menumpahkan apa yg ada di dalam hati dan fikiran saya untuk saya jadikan cerpen. 

     Belajar secara otodidak memang banyak kekurangannya. Baik itu dalam bertutur, dialog, EYD, tanda baca, dan perbendaharaan kata saya yang punya pun masih sedikit. Tidak jarang saya membuka Kamus Bahasa Indonesia untuk saya jadikan panduan menulis saya.

     Buat saya, menulis itu sangat menyenangkan. Saya bisa menumpahkan semuanya di saat hati galau atau ketika saya sedang gembira. Saya juga seringkali terbentur ide yang tiba-tiba macet. Kalau sudah begitu, biasanya saya berhenti dulu menulis. Jalan-jalan keluar rumah, baru setelah pikiran fresh, saya mulai menulis lagi.

      Sebenarnya, sudah beberapa kali tulisan saya dimuat di majalah anak, di sebuah tabloid yang sekarang sudah tidak ada, dan saya juga menerbitkan buku melalui self publishing pada sebuah penerbit. Semua karya saya itu memang tidak memuaskan. Bukan tulisan yang sempurna. Mungkin itu juga yang menyebabkan buku saya tidak laku. Tapi, sebagai orang yang sudah terlalu cinta pada dunia tulis-menulis, saya akan terus memperbaiki semua kekurangan yang ada. Terutama meningkatkan minat baca saya pada buku-buku hasil karya penulis senior. Membaca tulisan mereka adalah pembelajaran yang sarat ilmu. Selain itu, saya juga tidak malu-malu bertanya dengan penulis senior yang ada di facebook. Bahkan, saya pernah meminta beberapa penulis yang saya kagumi untuk membaca tulisan saya dan bertanya, di mana kekurangan yang ada pada tulisan saya. Alhamdulillah, mereka semuanya baik dan ramah, serta tidak sombong. Mereka mau berbagi ilmu, pengalaman, dan motivasi kepada saya. Dan saya sangat berterima kasih kepada penulis-penulis idola saya itu. 

     Sebagai orang yang suka menulis, saya tentu sering mengirimkan karya-karya saya pada redaksi majalah, koran, dan situs online. Rasa kecewa tentu saya rasakan ketika naskah saya selalu ditolak. Baru-baru ini misalnya, saya telah  mengirimkan tiga naskah berturut-turut yang ditolak sebuah redaksi. Naskah saya ini bertema ngocol-ngocolan. Pada naskah saya yang pertama, ia bilang suka dengan gaya ngocol saya, hanya saja kurang hikmah. Lalu, saya kirim lagi naskah kedua. Naskah saya ditolak lagi dengan alasan, kurang ngocol. Kemudian naskah ketiga yang juga ditolak. Alasannya, "dialog cerpen ngocol itu nggak selamanya harus ngocol". Lah, wong namanya juga cerpen ngocol, masa iya saya harus menulis dialognya dengan gaya sastra? 

     Mungkin memang benar adanya, bahwa letak kesalahan tulisan saya memang seperti yang dikatakan editor itu. Kekecewaan saya pun hanya berlangsung sesaat. Seperti kata penulis idola saya, "penolakan naskah itu sudah biasa dalam dunia tulis-menulis. Yang penting, semangat menulis itu harus tetap ada. Dan jangan menyerah!" Kata beliau lagi, "Naskah saya saja masih sering ditolak, kok."

     Ya. Tentu saja! Saya akan terus menulis dan menulis. Saya tidak akan pernah menyerah! Meskipun tulisan saya tidak berkenan di hati para redaktur fiksi, tapi setidaknya saya sudah menuangkan uneg-uneg, ide, atau curahan hati saya dalam sebentuk kisah. Karena hal itulah yang terkadang membuat perasaan saya senang dan lapang. 




          
    
      

Saturday, January 21, 2012

SAYA TERNYATA SAKIT GONDOK-AN!

   Waktu kecil, saya pernah ngeliat seorang nenek yang menderita gondok. Ukurannya kira-kira sekepalan tangan orang dewasa. Dan daging tumbuh itu tumbuh menggelambir di bawah lehernya. Saya, diam-diam suka ngeliatin nenek itu. Walau sempet bikin ngeri, tapi saya juga  iba ngeliatnya. 

     Tapi, meskipun kelihatannya menderita, nenek itu kayaknya nggak merasakan apa-apa, deh. Enggak pernah saya lihat mimik wajahnya yang meringis kesakitan akibat penyakit gondoknya itu. Atau, nggak pernah saya lihat dia teriak-teriak ribut karena menderita gondok. Sebenernya, penderita gondok itu merasakan sakit enggak, sih?

     Ngomong-ngomong soal penyakit gondok, tanpa saya sadari, ternyata saya sendiri juga mengalaminya. Dan tanpa saya sadari juga, hal itu berlangsung sudah lama sekali.

     Awalnya, saya nggak ngira kalo ketidaknyamanan yang saya rasakan belakangan ini, akan menyebabkan "gondok". Dan akhirnya, setelah saya  simpulkan sendiri kegundahan hati saya, bahwa saya emang beneran gondok! 

    Cuman, kalo penderita gondok itu tumbuhnya di bagian leher, sedangkan gondok saya tumbuhnya nyempil di dalam hati. Kalo aja "gondokan" di hati saya bisa dilihat langsung dari luar tubuh, saya rasa, ukurannya mungkin sudah sebesar kelapa ijo.

     Soal kenapa saya kena "gondokan", semua bermula dari kegemaran saya membaca. Semua jenis buku bacaan yang bermanfaat, saya suka semua. Apalagi kalo bacaan itu berupa cerita fiksi, akan saya lahap habis sampe saya terkadang lupa waktu. 

     Karena emang gemar baca, saya juga langganan sebuah tabloid top ibukota. Setiap masa terbit tabloid itu tiba, maka sambil menyapu halaman, saya menanti dengan setia tukang koran langganan saya.

     Dan, setiap tukang koran tiba, ada aja mulut-mulut nyinyir yang nyeletuk gak penting. Seperti misalnya, "Noh, liat deh bininya si anu, senengnya beli koran terus! Banyak duit 'kali, ya..." cetus seseorang. Dan nggak hanya satu kali saya "dilempari" komentar miring seperti itu. Walau hati jengkel tapi saya berusaha untuk diam.


     Ketika itu saya nggak menanggapi. Mungkin sudah sifat orang tersebut seperti itu adanya,   sehingga apa saja yang ditangkap matanya ia komentari. 


      Buat saya, kegemaran membaca itu nggak harus memiliki uang untuk membeli berbagai macam bacaan. Punya uang pun kalau nggak ada keinginan membaca, maka nggak akan  pernah kita mendapatkan media tulisan yang bisa dibaca. Kalaupun saya membeli/berlangganan sebuah tabloid bukan karena saya banyak duit. Tapi karena saya merasa nyaman ketika membaca.


     Soal "gondokan" saya yang makin membuat nggak nyaman,  perlahan tapi pasti mulai sirna  dari hati saya. Ini mungkin karena saya nggak pernah menanggapi ocehan orang itu. Sampai kemudian dia bosan sendiri dan nggak pernah nyeletuk lagi kalo ada tukang koran datang.


     Alhamdulillah, akhirnya saya terbebas dari penyakit yang meresahkan hari-hari saya kemarin. Penyakit "gondokan" saya hilang, selain dikarenakan saya juga rajin meminum Ramuan Cuekin Aza!
     
      

Saturday, January 14, 2012

MENCARI JEJAK TANGAN-TANGAN JAHIL

      Pernahkah Anda merasa dijahili atau diusili? Bagaimana sikap Anda jika tahu bahwa semua itu dilakukan seseorang dengan sengaja? Suka, atau marahkah Anda menanggapi semua itu? Atau, malah bersikap biasa-biasa saja?

     Saya rasa, setiap orang nggak ada yang suka dijahili. Apalagi ketika hal itu berulang kali dilakukan, kita akan merasa dilecehkan, dan sudah pasti keseharian kita menjadi kurang nyaman. 

     Hal-hal seperti itu sering saya rasakan sendiri. Saya dan keluarga kerap mendapatkan perlakuan tangan-tangan usil di lingkungan rumah saya sendiri. Setiap kali menyapu halaman depan rumah saya, sering saya dapati pecahan beling, entah itu dari serpihan bola lampu, serpihan botol, atau pecahan beling lainnya. 

     Padahal, setiap kali saya menemukan pecahan beling pada saat menyapu halaman, saya selalu membuangnya ke tempat sampah. Tapi, kenapa pecahan beling itu selalu saja ada? Seakan tak pernah ada habisnya.  

     Bahkan, pernah saya temukan pecahan piring yang terbelah dua dibuang dekat rimbunnya tanaman-tanaman saya.  Kebetulan pagar tembok saya berbatasan dengan rumah kontrakan tetangga. Tanpa banyak kata, saya pun langsung menaruh kembali pecahan piring itu di atas pagar tembok. Saya memang sengaja tidak membuang pecahan piring itu ke tempat yang semestinya. Karena, saya ingin orang iseng itu tahu, bahwa saya tahu perbuatannya dan tidak senang dijahili.

     Kemudian, ada hal lainnya yang mungkin juga ini perbuatan orang iseng. Di depan pagar rumah saya, sering ada (maaf) bangkai tikus yang teronggok tepat di pintu pagar rumah. Atau juga tercium bau pesing di depan pagar rumah saya.

     Lalu, ada pula pepohonan di pekarangan belakang dan samping rumah saya yang sudah jadi korban ulah tangan-tangan iseng. Tanpa minta ijin terlebih dulu, orang tersebut main tebang saja. Ketika ditegur dia menjawab enteng. Dia bilang, pohon ini merusak genteng rumahnya yang kebetulan ada di bawah pohon milik keluarga saya. Tetapi, sebagai manusia yang  saling menghormati dalam hidup bertetangga, bersosialisasi satu sama lain, semestinya semua itu dibicarakan lebih dulu oleh pemilik pohon. Jangan asal main tebang saja. 

     Pada mulanya saya merasa kesal, geram, dan marah. Namun, setelah suami menyarankan untuk tidak menanggapi semua itu, saya pun pelan-pelan bisa menerima ulah orang iseng itu  selama tidak mengganggu keselamatan hidup keluarga saya. Karena, biar bagaimanapun juga kerukunan hidup bertetangga itu perlu dijaga keharmonisannya. Hanya saja, terkadang saya merasa was-was ketika anak-anak saya dan temannya bermain di halaman. Saya takut kaki mereka terkena pecahan beling.

    Saya, di dalam hati mungkin bisa mengira-ngira siapa pemilik tangan-tangan usil itu. Mungkin saya sudah su'udzon dengan orang, tapi sebagian memang saya tahu pasti siapa orang tersebut. 

      Terakhir kemarin, galah saya untuk memetik daun sirsak hilang tanpa jejak. Tapi sekali lagi, saya hanya bisa geram di dalam hati.  

Wednesday, January 4, 2012

CELOTEH ANAK BETAWI (PART 4)


STATUS DUA WANITA
   
                      by. Mimi Aira



     Kumandang adzan subuh telah berlalu setengah jam yang lalu. Mata gue mengerjap beberapa kali. Samar-samar telinga gue menangkap suara-suara ribut di sekeliling gue. 

    "Jangan-jangan si Beben mati 'kali," cetus seorang perempuan tanpa perasaan.

    "Kasih napas buatan aja, Mpok. Kayaknya si Beni kesulitan napas, deh," suara perempuan lain menimpali.

     "Ya udah. Panggil Kong Jupri, gih! Cepetan! Takutnya si Beni keburu lewat...!"
     "Et dah. Pada ngomong apa, sih? Gue baik-baik aja, kok. Lagian, ngapain juga Kong Jupri disuruh ngasih napas buatan buat gue, coba? Pengen gue jitak? Cuma, ini kenapa lobang idung gue rada geli-geli dikit, ya?

     "Hatsyiiiii...!" Gue bersin keras.
     "Lah, Ben, napa banyak kembang duren di lobang idung lu?" seseorang nyeletuk lagi.
     Perlahan-lahan kelopak mata gue membuka. Wajah yang gue lihat pertama kali adalah wajahnya Mpok...

     "Whuaaaaaa...!" Gue menjerit panjang begitu wajah Mpok Itut nongol di depan gue. Lekas gue berdiri dan ngacir ke dalam rumah. Gue kunci pintu kamar rapat-rapat. Berkurung selimut dengan badan gemetar. 
     Hhh...hhh...hhh...

     "Itu anak kenapa, ya? Ngeliat gue kok ketakutan begitu?" Mpok Itut keheranan.
     "Muka Mpok Itut mirip anuan 'kali, Mpok!"samber Mpok Midah.
     "Anuan apaan maksut lu, Midah?" Mpok Itut penasaran dan pengen tahu.
     "Yaaa, anuan, Mpok... Itu yang bajunya putih, rambutnya panjang. Ketawanya nyaring tapi bisa terbang. Pokoknya kayak anuan dah, Mpok..." serius Mpok Midah.

     Mpok Itut kliyengan denger ocehan Mpok Midah. Di atas kepalanya serasa ada bintang-bintang kecil bersliweran.

     "Midah, gue puyeng dengerin lu ngomong! Dari tadi anuan, anuan melulu! Bilang aja kuntilanak 'gitu. Jadi, maksot lo gue mirip kuntilanak, hah?!" Mpok Itut lantas berdiri sambil ngebanting baskom berisi kembang duren.

     "Lah, napa marah, Pok? Kalo Mpok Itut kagak ngerasa mirip anuan, ya jangan marah dong, Pok. Saya kan cuma ngomong anuan doang..." Mpok Midah lalu mundur beberapa langkah. Mulutnya komat-kamit nggak jelas.
     "Satu...dua..." Mpok Midah mulai menghitung, pengen kabur dia.
     "HAH!" sentak Mpok Itut kenceng.

     Pada saat itulah Mpok Midah ambil langkah seribu. Larinya lebih gesit dari kucing garong yang diguyur air sebaskom, karena ketangkep basah nyolong ikan asin.

     "Eh, Midaaaah! Kalo sampe kita ketemu lagi, tapi lu kagak minta maap, maka lu ama gue...END!" sewot Mpok Itut sambil merentangkan kedua tangannya ke samping.

     Kini, tinggal Mpok Itut seorang diri di bawah pohon duren. Meski masih mangkel, tapi mendadak hatinya girang-gemirang ngeliat tumpukan kembang duren yang bejibun. 

     "Bener-bener panen raya hari ini gue. Aseeek..."Mpok Itut seneng setengah mati mungutin kembang duren sendirian. Dia emang udah punya niat mau ngejual kembang durennya sama orang satu kampung. Biar dapet banyak duit!

     "Lumayan! Bisa buat bayar tunggakan listrik!" oceh Mpok Itut girang.
     "Nhaaah...ini die nyang kita cari! Ayo, Ibu-ibu, cepet kita libas!"

     Tiba-tiba, di belakang Mpok Itut segerombolan ibu-ibu lari pontang-panting sambil nenteng baskom, panci, dan ember. Semuanya bergerak maju menuju pohon duren milik Kong Jupri. Menyerbu tumpukan kembang duren yang masih segar.

     "Masaollooooh, siapa nyang punya nih pu'un duren, ya? Bisa nyetok buat satu minggu, neh. Mantep banget dah, ah..." oceh Mpok Nora dari kampung seberang. Sepuluh jari tangannya bergerak cepat mungutin kembang duren. Maka, dalam sekejap mata baskom merahnya udah terisi hampir setengahnya. 

      Mpok Itut kaget ngeliat kedatangan ibu-ibu lain yang begitu tiba-tiba. Saat ini, ibu-ibu di Kampung Setu, maupun ibu-ibu dari kampung belahan manapun, semuanya emang lagi tergila-gila ama kembang duren. Maniak kembang duren! 

     Oleh karenanya, Mpok Itut senewen banget ngeliat sepak terjang ibu-ibu dari kampung sebelah itu. Dia aja yang datengnya lebih dulu, bak mandi anaknya aja belum keisi kembang duren acan-acan. Rasanya, Mpok Itut pengen banget ngusir ibu-ibu itu. Tapi, apa hak dia? Itu pohon duren kan bukan miliknya.

     "Buat stok satu minggu? Si Mpok mah ada-ada aja, ya. Kembang duren, Mpok, kalo disimpen sampe satu minggu bukan jadi awet. Tapi kering kayak rumput mati!" timpal Mpok Rodoh.

     "Lah, 'pan sebelumnya kita permentasi dulu, Mpok," sahut Mpok Nora lagi.
     "Uset dah! Emang tuco pake dipermentasi segala! Nyang ada tuh kembang duren jadi asem-asem rasanya. Udah ah, Mpok, jangan ngomong aja. Mendingan kita ngebut, Nyok!" seru Mpok Rodoh semangat. Sempet juga dia nyeruput madu yang ada di dalam kelopak kembang duren.

     "Manis, Mpok?" tanya Mpok Anis.
     "Manis banget. Enak. Mpok mao?" Mpok Rodoh nyodorin kelopak kembang duren pada Mpok Itut yang lagi ngelirik sinis padanya.

     "Kagak!" ketus jawaban Mpok Itut. 
     Ngeliat ibu-ibu itu yang bergerak cepat sambil jongkok, dan semakin mengarah ke tengah, Mpok Itut kalang kabut. Bisa kebagian sisa-sisanya doang nih, pikirnya. Maka, dengan gerak cepat pula Mpok Itut pun membabi buta. Tangannya nggak mencomot lagi, tapi meraup. Dia nggak peduli, udah masuk apa aja  bak mandi anaknya. Yang penting buat Mpok Itut, baskomnya bisa cepat penuh. 

     Namun, saat ngelirik isi baskomnya, Mpok Itut mendadak terlonjak kaget. Isinya ternyata nggak cuma kembang duren. Tapi ada juga daun kering, kerikil, sarang semut, dan terkahir...tahi ayam!  
     "Bujret, dah!" lonjaknya kaget. 

                                                                                  ***

     "Ben...! Beneeeeee...! Bangun lu!" Kong Jupri ngegebrak pintu rumah gue.
     "Udah siang masih molor aja. Beneeeeee...!" Berulangkali pintu rumah gue digedor Kong Jupri.

     Sebenernya gue denger teriakan Kong Jupri. Tapi, karna mata gue masih sedikit sepet, gue masih malas untuk bangun dari ranjang. Secara nggak nyadar mata gue tengah tertuju pada jam dinding. 

     "Hah?! Kesiangan lagi?! Subuh gue bablas lagi dah, aaah! Huaaaa..." Gue kelojotan sendiri ngeliat jam yang sudah menunjukan angka sembilan. 

     Bergegas gue buka pintu yang digedor Kong Jupri. Gue pengen protes sama dia. Soalnya, kenapa coba dia nggak ngebangunin gue buat sholat subuh? Duh, gara-gara semalam ketakutan setengah mati, gue jadi ketiduran deh, tuh.

     Untung juga ini hari minggu,  kuliah gue libur. 
     "Engkong...!" Gue udah siap-siap marah di depan Kong Jupri.
     "Nape, hah?!" Muka Kong Jupri yang super sangar langsung menyurutkan kegusaran gue. Gue melempem takut di depan pintu.


     "Elu pengen marah karna Engkong kagak ngebangunin lu? Enak aja! Lagian doyan banget tidur sih lu! Mandi sono! Cucu Engkong udah nunggu elu dari tadi, tuh." 
     "Cucu Engkong? Cucu yang mana ya, Kong? Siapa sih? Emang ada perlu apa sama Beni, Kong?" tanya gue beruntun.


     "Udah, mendingan lu mandi dulu sono. Dari tadi Engkong kagak tahan tahan ama bau napas lu. Hih, bau naga!" dengus Kong Jupri.


     Gue meringis kecil. Lalu, dengan berat dan malas, gue seret langkah menuju kamar mandi. Peristiwa semalam sesekali melintas di angan gue. Entah bagaimana dengan murid-murid gue. Apa mungkin mereka juga masih terbayang-bayang peristiwa semalam? Atau, malah udah lupa sama sekali?


     Acara mandi gue nggak perlu waktu lama. Gosok ini, gosok itu. Keramas ini, keramas itu. Colek sabun mandi buat membersihkan badan. Sikat gigi sebentar... Lalu, setelah semuanya terasa kesat dan bersih, barulah gue pake baju a la boyband masa kini. 


     Seperti biasa, setelah mandi, gue selalu merasa pe-de kalo pake minyak wangi. Sambil siul-siul, gue semprot sudut-sudut tertentu dengan minyak wangi. Nana-nini di depan kaca. Baru deh abis itu keluar kamar. 
    "Ben, elu mao kondangan? Rapi amat?" celetuk Kong Jupri begitu gue nongol di depannya. 
     "Hehehe... Bukan cuma rapi aja, Kong. Tapi Beni ganteng juga, kan?" Gue mengerling genit pada Kong Jupri. 


     "Bukan ganteng lu, tapi ganjen!" ceplos Kong Jupri. " 
     "Cepet deh, Ben. Kasihan cucu Engkong kelamaan nunggu," Kong Jupri melangkah masuk. Dan gue ngintilin di belakangnya.


     "Nih, Ben, kenalin cucu Engkong. Dia ini cucu Engkong dari anak Engkong yang nomor dua. Elu pasti belom pernah liat dia, kan?" Kong Jupri lantas mengenalkan gue dengan seorang gadis manis berlesung pipi. 


     "Subhanallah..." Mata gue melotot, nggak bisa kedip. Di hadapan gue, berdiri seorang bidadari belia nan cantik manis. 


     "Saya Haifa..." terdengar suara merdunya. 
     Sejenak gue salah tingkah waktu  dia natap gue begitu rupa.  Aiihhh...mungkin aja nih putri bidadari langsung terkesan oleh pandangan pertamanya jumpa dengan gue. Boleh dong gue ge-er...


     Uluran tangannya belum gue sambut. Sampe kemudian Kong Jupri menyentak gue dengan sikutnya. Gue tergagap kaget.


     "Dasar mata bongsang! Kagak boleh aja ngeliat perempuan bening dikit, langsung melotot tuh mata!" sentak Kong Jupri.


     "Oh, eh...aku Beni. Beni Murdani!" sambut gue agak kikuk sambil menyambut uluran tangannya.


     "Jiaaah, pake aku, aku lagi lu..." ledek Kong Jupri
     Gue setengah meringis. "Rese!" cetus gue pelan.


     Ya iyalah, Kong. Cuma laki-laki nggak normal aja yang nggak suka sama cewek secantik bidadari ini. Hadeuh, Kooong...liat aja idungnya yang mancung... Biji matanya yang bulet... Bibir merah tipisnya... Dan, dan...rambutnya, kong, Masya Alloh...ikal mayang, kong! Indaaaah banget!  Gue terus berdecak kagum di dalam hati.


     "Dia beneran cucu Engkong?" Gue berbisik pelan pada Kong Jupri.
     "Iye! Nape emangnye?" Kong Jupri balik nanya dengan nada menyolot.


     "Enggaaaak. Beni cuma lagi mikir aja. Kok, muka Engkong sama cucunya nggak ada mirip-miripnya, ya?" Gue serang balik Kong Jupri. Karena tadi doi udah meledek gue saat ber-aku aku di depan Haifa.


     Bibir Kong Jupri manyun curut. Biarin. Cuekin aja dia.
     "Kok Beni kagak pernah ngeliat Haifa sebelumnya, ya? Emang tinggal di mana?" Gue mulai untuk membuka percakapan. 


     "Di Bandung. Sebenernya, Haifa sering juga kok dateng di mari. Tapi, emang lu-nya aja 'kali yang kagak ngeh." Kong Jupri yang ngejawab.


     Sebenarnya Haifa udah siap-siap mau ngomong tapi keburu diserobot engkongnya.
     Gue lirik sekilas Kong Jupri. Nyamber aja kayak bensin! rutuk gue kesel. 
     "Haifa dateng ke Jakarta ini ama siape?" gue nanya lagi.
     "Sendirian. Enyak-Babeh-nya lagi sibuk!" samber Kong Jupri lagi. 


     Yeeeh, kagak nanya situ! sewot gue dalam hati. Enaknya diapain ya, nih aki-aki biar mingkem? Yang ditanya siapa, yang jawab siapa.


     "Emang Haifa ada keperluan apa sih ke Jakarta? Kok kayaknya penting banget, bela-belain dateng sendirian." Gue belum nyerah.


     Mulut Haifa udah terbuka, tapi urung, karena diwakili oleh Kong Jupri lagi.
     "Dia mau pindah sekolah di Jakarta! Kan, tadi udah dibilang kalo Enyak-Babeh-nya lagi sibuk. Elu kok bolot banget sih, Ben. Eh, Engkong minta tulung ama elu Ben, ya. Tulung temenin Haifa daftar di sekolah nyang baru. Ye..." Kong Jupri nyerocos.


     Set dah!  Pake ngatain gue bolot, lagi. Kalo aja nggak ada Haifa di situ, udah pasti gue bakal mencak-mencak sama doi. Tapi demi menarik perhatian Haifa, gue harus memberi kesan yang baik pada pertemuan pertama ini. Gue kagak peduli sama engkongnya yang nyablaknya minta ampun. Semua gangguan itu bisa ditindaklanjuti belakangan. Yang penting sekarang, neh...gue kenal dulu sama Haifa. 


     "Assalamu, alaikum..." 
     Belum sempet gue tanya-tanya lagi kepada Haifa, Mpok Rana dan Loli pun muncul di depan pintu rumah Kong Jupri. 


     "Likum salam..." Kong Jupri yang menjawab.
     "Eh, elu, Ran... Mao nyari apa, nih? Sayuran Engkong udah abis, Ran. Ada tuh ikan bandeng. Tapi tinggal atu..." ujar Kong Jupri.


     "Mak, Loli boleh maen sama ikannya Bang Beni?" kata Loli tiba-tiba. Tapi, sebelum emaknya ngejawab, anak perempuan umur empat tahun itu udah keburu ngacir.


     "Eh, Loli...! Loliiiiiiiiii...!" Mpok Rana manggil-manggil Loli kenceng. "Aduh, Ben, abis dah ikan julung-julung lu diubek Loli. Mpok jadi nggak enak, nih." Muka Mpok Rana tampak was-was gue liat. 


     "Kagak apa-apa, Ran. Anak kecil kan emang begitu. Susah dikasih tau-nye!" Kong Jupri lagi-lagi maen samber omongan.


     Kagak apa-apa gimana? Kong Jupri sih enak aja ngomong gitu, soalnya tuh ikan bukan punya dia. Aduh, Loli, ikan julung-julung Bang Beni jangan diapa-apain, ya. Harap gue dalam hati.


     "Rana bukan mao belanja sayur, Kong. Tapi Rana mao ketemu Beni." Mpok Rana lalu menatap gue. Kemudian, pandangannya beralih ke arah Haifa. Haifa lantas senyum ramah pada Mpok Rana. Dan Mpok Rana pun demikian. Keduanya saling mengangguk ramah.


     "Oh iya, Ran. Kenalin ini cucu Engkong dari Bandung. Namanya Haipa." tutur Kong Jupri.
     Haifa yang lebih dulu mengulurkan tangan dan menyebut namanya. Mpok Rana juga melakukan hal yang sama.


     Gue sedikit gelisah juga ngeliat mereka bersalaman. Sinar mata Mpok Rana menyiratkan sesuatu, yang gue sendiri sulit menangkap maksud tatapan matanya. Sesuatu gelagat yang gue duga sebagai rasa kecemburuan. Mungkin. 


     "Oh iya, Bang Beni...Haifa boleh minta bantuannya?" ucap Haifa tiba-tiba. 


     "Minta tulung apa ya, Haifa?" sahut gue hati-hati sambil menoleh ke arah Mpok Rana. Mpok Rana juga sempat sekilas membalas tatapan gue. Tapi kemudian ia menundukkan kepalanya lagi.


     "Haifa mao nyari tas baru buat sekolah di sini. Sekalian Haifa juga mao nyari Kamus Bahasa Inggris. Bang Beni ada waktu kan hari ini?" suara Haifa yang sedikit manja membuat gue langsung mengangguk mantap. 


     "Mm, Kong, kalo gitu Rana pulang dulu, ya. Mari, Kong..." Mpok Rana bergegas pamit. 
     "Lah, Ran, napa buru-buru, sih? Katanya ada perlu ama Beni lu. Duduk dulu, deh!" cegah Kong Jupri. 


     "Kapan-kapan deh, Kong. Kalo sekarang Rana takutnya ngeganggu Beni. Loliiii, ayo kita pulaaaang!" Mpok Rana nyamperin Loli dan menenteng Loli pulang. Dan Loli, dia udah sukses ngembat ikan gue lagi dua biji.


     Hwuaaaa...Loliiiiiiiiiiiii!


     Gue bengong campur sedih menatap punggung Mpok Rana dan Loli yang makin menjauh. Sungguh. Gue ngerasa nggak enak hati sama Mpok Rana. Gue ngerasa udah mengabaikan dia tadi.


     "Ngomong-ngomong, Bang Beni udah punya pacar belum?" Tanpa gue duga Haifa melontarkan pertanyaan seperti itu tanpa malu-malu. 


     "Pacar Beni ada dua biji!" celetuk Kong Jupri. 
     Haifa kaget dengan wajah kecewa. Dan gue melotot pada Kong Jupri.


     "Siapa?" tanya Haifa serius.


     "Noh, ikan julung-julung ama ikan betok!" ketus Kong Jupri sambil ngeloyor ke warung sayurnya.


     Haifa tertawa sampe air matanya keluar. 


     Duh, mau jalan sama cewek semanis Haifa tapi kenapa hati gue gelisah begini, ya? Kok gue jadi ngerasa nggak enak sama Mpok Rana, ya? 


     Tapi, bidadari manja di depan gue juga nggak akan gue biarkan jalan sendirian di mol. Gimana kalo sampe Haifa digangguin cowok-cowok iseng, coba?
     Duuuh, kenapa jadi gini, sih?
    
      

 

Saturday, November 5, 2011

CELOTEH ANAK BETAWI (PART 3)




KEMBANG DUREN




                                                                                                                                  by. Mimi Aira
     Musim kembang duren udah tiba. Kembang yang satu ini banyak dicari ibu-ibu buat lauk. Berhubung kembang duren itu enak dimakan, maka banyak orang di kampung gue yang berlomba-lomba nutur kembang duren. Kalo pengen dapet banyak kembang duren, nutur-nya musti tengah malem. Kembang duren biasanya emang jatuh malem hari. Kalo nutur-nya pagi, udah pasti keabisan. Paling dapetnya yang kembangnya udah ancur. Udah keinjek-injek ama kaki orang. 
 
     Kembang duren paling enak dioseng pake cabe, bawang merah, ama bawang putih. Disayur juga enak. Digoreng campur ikan teri lebih mantep lagi. Makannya pake nasi putih anget. 
     Gue, kalo makan lauknya pake kembang duren, Kong Jupri minta sisa-in aja kagak gue ladenin. Ngapain. Tuh, aki-aki kalo udah ngeliat kembang duren di piring, langsung aja maen tegrep. Yang udah-udah, gue cuma kebagian pala terinya doang. Suwe kagak, tuh? 
     Nutur kembang duren juga musti bawa senter. Kalo kagak punya senter pake colen juga boleh. Kalo pengen lebih terang lagi, bawa aja petromaks. Pasti bakalan keliatan semua dah tuh kembang duren yang pada ngampar di tanah.
     Seperti malem-malem biasanya, saat anak-anak remaja pada ngaji di rumah gue, semuanya udah siap bawa tempat buat nampung kembang duren. Ada yang bawa kantong kresek yang gedenya bisa muat tipi satu. Ada yang bawa kaen sarung buat ngebuntel. Ada juga yang bawa baskom segede gaban. Gue sendiri udah nyiapin sprei buat gue digelar langsung di bawah pohon durennya. Ini buat jaga-jaga aja, supaya kalo ada yang maen curang, bisa cepet gue gulung spreinya. Hehehe...Cemerlang kan otak gue?
     Walow kadang anak murid gue pada protes ama kecurangan gue, gue pura-pura aja budek. Abis, kadang-kadang, anak murid gue suka sengak juga sih kelakuannya. Lagi enak-enak mungutin kembang duren, tiba-tiba aja gue dikagetin sama bentuk pocong-pocongan yang dijatuhin di depan gue. Ya, jelas gue ngejerit sambil ngibrit, dong. Ngeliat gue kaget, eh dia pada cekakakan. Emang pada songong tuh murid-murid gue. Pera 'lagunya'! Tapi, biar gitu, murid-murid gue sebenernya sayang banget ama gue. Suka bantu-bantu gue bebenah rumah. Sampe kalo ada makanan nganggur, dibantuin juga ngabisin. Hueh...tega banget dah, ah!
     "Bang, saya nginep di mari boleh 'pan, ya?" tanya si Adul, anak murid gue yang paling gede badannya.
     "Lah, mao ngapain lu pake nginep-nginep segala, Dul? Abang berani kok tidur sendiri," jawab gue.
   "Adul bukan mao nemenin Bang Beni. Adul pengen nyari kembang duren. Kalo Adul pulang, takut Adul tidurnya bablas ampe pagi. Kalo nginep di sini kan ada Bang Beni nyang bangunin Adul. Boleh ya, Bang, ya?" Adul ngerengek sambil narik-narik sarung gue.
     "Jangan tarik-tarik lah, Dul. Melorot, neh. Elu, ah..." Gue beresin lagi sarung gue nyang ampir lepas. "Ya udah. Elu boleh nginep, dah. Tapi di rumah abang banyak nyamuknya. Emang elu bisa tidur kalo banyak nyamuk? Kalo abang sih udah biasa." 
     "Kalo Adul sih, Bang, udah akrab ama nyamuk. Jadi, tidur Adul kagak bakal keganggu timbang digigit nyamuk, sih," kata Adul.
     "Ya udah kalo gitu. Eh, ngomong-ngomong tadi lu udah belajar baca iqro belon, ya? Abang lupa..." 
     "Belon, Bang." Adul lantas ngeluarin buku iqro dari saku baju kokonya.
     "Baca, dah," kata gue.
     Dua huruf dibaca Adul dengan lancar. Tapi huruf ketiga dan seterusnya, lidah Adul macet. Mulutnya nganga tapi nggak bisa ngucapin apa-apa. 
     "Et dah, masa lupa sih, Dul. Kan Abang suruh apalin di rumah. Keseringan nongkrong sih lu. Lu tuh musti banyak belajar ngaji di rumah! Lah coba itu, udah kenal cewek, tapi iqro aja belon khatam lu." Gue geleng-geleng kepala.
     Adul cengengesan. "Abis, enakan nongkrong daripada ngaji sih, Bang." Enak aja jawaban Adul.
     "Astapirloh!" Mata gue langsung melotot denger jawaban Adul. "Dul, coba deh, ye...Hooiiii! Jangan pada berisik!" Gue teriak waktu anak-anak lainnya pada ribut. 
     "Ssttt! Bang Beni marah, tuh." Seorang anak nyeletuk.
     "Temen lu belon kelar baca, lu udah pada ribuuut aja. Diem dulu!" gertak gue. Setelah keadaan kondusif, gue arahin lagi si Adul.
     "Dul, kalo nyang ini namanya, emim..." Gue lembut-lembutin suara gue. Siapa tau Adul gampang nangkep kalo gue lemah lembut.
    "Emim..." Adul ngikutin. "Kalo yang ini apa namanya, Bang?" tanya Adul.
     "Itu ero, Dul."
     "Kalo yang ini apa namanya, Bang?" tunjuk Adul.
     "Nyang itu namanya, edal..." jawab gue.
     "Kalo nyang ini apa namanya, Bang?" tanya Adul lagi.
     "Et dah...ngapa jadi elu yang ngetes gua, ya? Coba ulangin!" Gigi-gigi gue mulain gerutukan. Urat leher gue juga udah mulain kaku kayaknya. Belon pada tau kalo gue lagi marah kali, ya. 
      Adul gue liat noleh ke belakang sambil senyum sama temen-temennya yang laen. Temen-temen Adul cekikikan. Ada, guru ngaji dilecehin begitu?  Awas aja entar! ancam gue dalam hati.
     Tapi, akhirnya...Adul kelar juga bacaannya malem ini. Walow dia harus ngulang lagi, dan mulut gue sampe berbusa ngajarin dia, tapi kayaknya tuh anak tenang-tenang aja, deh. Sama sekali nggak ngerasa malu sama temen-temennya yang udah pinter baca qur'an. Adul...Adul...! Anak sapah sih lu?
     "Baek...kalo udah pada baca semua...kita tutup aja pengajian malem ini, ya. "Bismillahirohmanirrohim..." Gue pandu anak-anak buat baca doa penutup. Selesai baca doa, anak-anak gue suruh pulang. Tapi kok kagak ada yang bangun, ya?
     "Lah, nape pada ngejublek aja, ya? Udeh pulang!" Gue kebingungan.

     "Kita semua mao nginep di rumah Bang Beni, kok," cetus Pian.
     "Nginep? Pada mao ngapain nginep, gue tanya? Hah, mao ngapain?" Sepasang tangan gue nangkring di pinggang sambil ngeliatin muka-muka mereka.
     "Si Tatang mao nyari kembang duren, Bang! Enyaknya doyan banget makan kembang duren!" seru Rohmat sambil ngakak.
     "Elu tuh nyang rakus! Sarapan pagi, kembang duren. Makan roti tawar, pake kembang duren. Ampe bekel sekolah, bawanya kembang duren juga! Hahaha...Rohmat...Rohmat!" Celotehan Tatang langsung disambut tawa teman-temannya yang lain.
     "Jiaaah, elu ngajak ribut ya, Tang, ya? Sini lu!" tantang Rohmat.
     "Elu nyang sini! Takut 'pan lu ama gue?" Tatang nggak mau kalah.
     "Kasih jurus Crish John aja, Tang. Biar KO si Rohmat!" timpal Pujianta  Harahap, anak medan yang gedenya di tanah betawi. 
     "Heh, ngapa jadi pada ribut, ya?! Diem semua! Kalo pada kagak mao nurut, mendingan kagak usah nginep di mari!" Urat leher gue mulai keriting sekarang.
     "Beniiiiiiiiiiiiii...! Suruh diem itu bocah! Pala gue puyeng!" Kong Jupri tiba-tiba nongolin kepalanya di pagar pembatas rumah.
     "Iya, Kong, iya! Tadi juga udah Beni suruh diem." Untung nggak lama kemudian mereka mao nurut juga. Suasana mulai aman lagi. 
   
     "Bang, pinjem ember boleh 'pan, ya? Soalnya Nita kagak bawa tempat. Kata Enyak, Nita suruh pinjem aja ama Bang Beni." 
     Set, ada lagi nyang minjem ember... Emangnya mao nimba aer!
     "Ambil noh di dapur!" 
     Si Ipah pun ngacir masuk dapur.

     "Lah, Pah, napa malah elu nyang nyelonong? Pan nyang minjem ember si Nita," tegur gue pada Ipah.

     "Ipah kagak bawa tempat soalnya, Bang. Ipah mo pinjem panci Bang Beni. Boleh 'pan ya, Bang?" 

      "Serah lu aja dah, ah..." Gue pasrah aja alat-alat dapur gue di comotin atu atu

     "Eh, tapi lu semua udah minta ijin ama orang tua belon, neh?" Gue khawatir kalo nanti disalahin sama orang tua mereka. Dikiranya gue yang nyuruh mereka nginep di sini.
     "Udeh, Bang. Lah, nyang nyuruh kita nginep di rumah Bang Beni emang orang tua kita 'pan, Bang," ceplos Mila.
     "Ya ollooooh... segitunya amat ama kembang duren, ya? Hhhh..." Gue menghembus napas panjang.
     "Udeh, kalo emang pada pengen nginep, beresin dulu semuanya! Anak perempuan tidurnya di dalem. Anak laki di luar! Eh, jangan pada lupa, nyalain alarm di hape, biar bangunnya pas jam dua!" perintah gue.
     "Beres, Bang!" kata anak-anak itu girang. 
     Tinggal gue yang kebingungan sendiri. Lah, gue tidurnya di mana ini?
     Malam pun merambat naik. Satu satu anak murid gue tumbang. Semuanya udah terlena dalam mimpi masing-masing. Gue sendiri belum bisa tidur. Gimana bisa tidur, bocah sekampung ngorok semua di samping gue. Et dah...bereseeek! 
     Mungkin karena malam yang semakin larut, mata gue mulain berat. Ngantuk. Dan gue pun tertidur pules di atas lantai berlapis tikar.
     Di tengah keheningan malam, semua lelap. Semuanya mengalami mimpi yang  seru dan menegangkan. Berebut kembang duren!
     Tepat jam dua dini hari beberapa alarm di handphone berbunyi nyaring. Suaranya riuh dan berisik. Gue terlonjak bangun. Anak-anak didik gue juga ikut terbangun. Si Adul, yang sejak tadi sore semangat banget nginep di rumah gue, kagak mau bangun dia. 
      "Udah pada bangun semua belon, neh?" tanya gue sambil ngucek-ngucek mata yang masih sepet.
     "Udah, Bang. Tinggal si Adul noh yang masih ngorok di pojokan. Kita tinggal aja, Bang," usul Pujianta.
     "Jangan, Ta. Kesian Adul. Masa ama temen sendiri jahat, sih. Udah, kalo gitu lu bangunin Adul, cepet. Tar, keburu kembang durennya dipungutin orang, lagi," kata gue sambil melipat kain sarung yang gue pake buat selimut.
     "Eh, Dul...bangun kau! Dul, kau mau nutur kembang duren tidak? Cepat bangun! Dul...!" Badan diguncang di Pujianta. Tapi, dasar si Adul kebo males! Tetep aja dia enak ngorok.
     "Tak mau bangun juga dia, Bang." Pujianta angkat bahu.
     Gue penasaran. Gue samperin si Adul. Sementara anak-anak lainnya masih ogah buka suara. Semuanya tampak sibuk menahan kantuk.
     "Ini anak, tidur sampe segitu seriusnya, ya? Heh, Dul...bangun!" Sengaja gue pencet idungnya Adul. Dan Adul nggak ngerasa terganggu sedikit pun. Sebab, mulutnya emang lagi menganga lebar saat itu.
     "Ambil aer, Ta!" pinta gue pada Pujianta.
     "Zebentar, Bang." Pujianta lalu nyendok air di akuarium.
      "Ini, Bang." Segayung air diserahkan Pujianta ke gue.
     "Mao-nya diguyur doang 'kali nih anak, ya..." Gue udah siap-siap mau nyiram muka Adul, tapi kemudian urung gue lakukan. Gue nggak tega juga ngelakuinnya. Muka Adul akhirnya cuma gue ciprat-cipratin air aja.
     Alhamdulillah. Akhirnya bangun juga tuh anak. Gue liat, badan Adul mulai menggeliat-geliat sambil berkata, "Yaaah, kok gerimis ya, Sayang. Kita neduh, yuk..." oceh Adul seraya bibirnya tersenyum. 
     Gue dan Pujianta saling pandang. Pantesan aja susah dibangunin, lah nggak tau-nya si Adul lagi keenakan mimpi pacaran. Gue geleng-geleng kepala tiga kali. Mumet kepala gue...
     "Apa? Oh, ngaji?" Rupanya mimpi Adul terus berlanjut.
      "Kagak usah dipikirin dah kalo ngaji, sih. Nyang penting, kita berduaan aja dulu. Lagian, Sayang, aku empet banget sama guru ngajinya. Sayang, biar ganteng ganteng begitu, tuh...bloon-nya minta ampun! Dia kagak tau kalo tiap ngajarin anak-anak ngaji, kapur tulis sama pulpennya aku umpetin. Hihihi..." Adul cekikikan sendiri.
     DUAARRR! 
     Serasa disamber petir gue saat itu. Tentu aja gue kaget mendengar omongan Adul barusan. Gayung berisi air yang gue pegang, terlepas begitu aja dan tumpah ke muka Adul.
     "S-Sayang, kok ujannya tambah banyak, ya?" Adul megap-megap. Dengan muka basah kuyup, Adul terlonjak bangun. Dia heran ngeliat gue dan Pujianta ada di depannya. Begitu dia liat muka gue, tampangnya langsung pucet. 
     Gue yakin banget, saat itu tampang gue lebih menyeramkan daripada  Tuan Takur, si penjahat kejam dalam film India. Gue liat, Si Adul sampe menggigil ketakutan.
     Tapi nggak tau kenapa, saat itu gue hanya bisa ngos-ngosan. Enggak ada kata-kata yang keluar dari mulut gue. Dada gue yang bidang juga ikut turun-naik. Emang kebangetan si Adul! Jadi, kapur sama pulpen gue yang  ilang tiap malem selasa, rabu, dan kamis itu dia yang ngambil? Suwe juga tuh bocah! Guru ngaji dikerjain melulu...
     Tanpa banyak cing cong lagi, gue hengkang dari hadapan Adul. Tapi, sebelum pergi sempet gue berucap sesuatu pada Adul. 
     "Lu denger baik-baik ya, Dul..." kata gue dengan muka merah. Gue tengok anak-anak lainnya, sepertinya rasa kantuk mereka udah mulai sirna. Mereka memandang gue dengan tatapan was-was. Sepertinya semua takut melihat kemaran gue pada Adul.
     Lalu, kata gue lagi, "Dul...makasih karena elu udah bilang Abang ganteng," cetus gue tanpa sadar. Adul cuma melompong kayak sapi ompong. 
     "Bah! Aku pikir mau marah tadi, Bang!" seru Pujianta.
     "Hhh..." Gue lirik sewot Pujianta. Lalu gue lirik Adul juga. Gue hentak kaki kanan satu kali. Nyomot baskom, lalu pergi.
     "Bang Beniiiiiiiiiiii...tapi baskom yang Abang bawa itu punyaku, Bang! Macam mana ini...?" Pujianta ngibrit sambil ngejar gue.
     Ohmayhot! Gue baru ngeh kalo baskom yang gue samber tadi milik Pujianta. Bodo mamat, ah! Emang kagak tau, apa kalo gue tuh lagi marah? Doooh, seprei gue nyangkut di mana lagi, neh? Pake acara ngilang segala lagi tuh seprei...
     Murid-murid gue yang lain ngikutin Pujianta dari belakang dengan membawa wadah masing-masing. Tak terkecuali Adul
.
     Tiba di pekarangan Kong Jupri, mata gue membelalak lebar. Itu kembang duren ato tumpukkan kasur? Wow! Bener-bener panen kembang duren malem ini. Rejeki nomplok! Besok pagi, gue pasti bakal dapet banyak duit. Seperti biasanya, diam-diam gue suka menjual kembang duren pada ibu-ibu di warungnya Kong Jupri. Itung-itung buat nambahin uang saku kuliah gue. Ah, jadi nyesel nggak sempet ngegelar seprei di bawah pohon duren...
     Eh, itu siapa, lagi yang jongkok di tengah hamparan kembang duren? Dalam keremangan cahaya bulan, mata gue kurang begitu jelas melihat sosok yang tengah asyik mungutin kembang duren itu. Tapi, setelah gue perhatikan baik-baik, sosoknya mirip-mirip Mpok Itut, kok. 
     Wah, Mpok Itut ini emang kagak ada takutnya, dah. Preman kayak Bang Anwar aja berani dia lawan sendiri. Dan sekarang, dia nutur kembang duren di tengah malam buta, sendirian pula, dia jabanin juga. Weleh...weleh...! Gue bener-bener salut sama keberanian Mpok Itut. 
     Sementara itu, murid-murid gue udah mulai nongol batang idungnya satu satu. Dengan sigap, gue kasih kode ke mereka agar jangan bersuara.
     "Jangan ada yang ngomong, ya. Kita kagetin Mpok Itut bareng-bareng. Pada paham kagak lu?" kata gue bersisik, eh berbisik.
     "Beres, Bang!" jawab mereka sambil mengangguk serempak.
     Gue lalu berjalan paling depan. Murid-murid gue ngikutin di belakang. Langkah kaki sebisa mungkin diusahakan tanpa suara juga. Sesekali gue noleh ke belakang sambil nempelin telunjuk ke bibir.
     "Ssttt...jangan berisik..." Gue mengingatkan mereka lagi. 
     Anak-anak itu manggut-manggut. Begitu kaki gue tinggal dua langkah lagi, gue kembali noleh ke belakang. Gue tempelin lagi telunjuk gue ke bibir.
     "Siap..." Gue menahan senyum, membayangkan Mpok Itut bakal terkaget-kaget dengan ulah gue dan anak-anak. Tapi anehnya, anak-anak itu bukannya ngangguk kayak tadi, mereka malah geleng-geleng takut. Muka mereka juga pucet semua. Ada apa, sih? 
     Gue, saking semangatnya, nggak peduli dengan raut kekagetan mereka. 
     Masih tetep menghadap ke anak-anak itu, gue mulai menghitung. "Satu...dua...tiga..." Dan tepat pada hitungan ketiga, gue langsung balik badan.
     "Astapirloh!" Tubuh gue mengejang seketika. 
     Hya oloooh, makhluk apa, ya mukanya kayak begonoh? Glek! Gue menelan ludah. Dia menyeringai serem ke arah gue.
     "Hwuaaaaaa...!" Gue menjerit sejadi-jadinya. "Lareeeeeee!" Gue beri aba-aba lagi agar anak-anak secepatnya minggat dari tempat ini. Lho, tapi kok? Pada ke mana mereka, ya? Gue celingukan sendiri. Bulu kuduk gue udah mulai jegrig semua. Gue bener-bener ketakutan setengah mati. Rupanya, pada hitungan ketiga tadi anak-anak itu ngibrit ninggalin gue. Sompret!
     Mungkin karena rasa takut yang luar biasa, gue sampe lupa ayat-ayat suci untuk mengusir setan. 
     "Astapirloh...astapirloh..." Gue istigfar sambil menutup mata ketika sosok menyeramkan itu pindah ke hadapan gue. 
     Seiring dengan lengkingan tawanya yang membuat semua jenis bulu berdiri, sosok itu lalu melesat terbang ke udara. Dan gue, gue langsung jatuh berdebam di atas hamparan kembang duren. Untuk selanjutnya, gue nggak inget lagi apa yang terjadi di sekeliling gue. 
     Malam itu, adalah malam paling menegangkan yang nggak bisa gue lupain seumur hidup gue.